Berpuasa merupakan salah satu praktik hidup yang sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu. Menariknya, praktik ini tak hanya melekat pada kehidupan satu agama.
Tak hanya untuk Muslim dan Kristen Katolik yang lagi berpuasa sementara ini, tetapi juga agama Budha dan Hindu. Bahkan, berpuasa pun sudah menjadi gaya hidup untuk sebagian orang. Motif utamanya untuk kesehatan.
Sejatinya, berpuasa merupakan salah satu cara hidup manusiawi. Siapa saja bisa berpuasa sebagai cara untuk mengistirahatkan aktivitas fisik kita.
Salah satu garis mendasar dari berpuasa adalah pengendalian diri. Kita kontrol diri untuk tak makan. Untuk konteks agama, pengendalian diri untuk tak melakukan hal-hal yang tak sesuai dengan ajaran iman kita.
Dengan ini, berpuasa bukan perihal kontrol tak makan dan minum untuk jangka waktu tertentu. Akan tetapi, lebih mendalam hal itu menyangkut kontrol diri untuk tak melakukan hal-hal yang berseberangan dengan ajaran iman.
Kontrol diri bukanlah hal gampang. Alasannya, itu tak hanya menyangkut soal kontrol ragawi, tetapi juga soal jiwa.
Boleh saja, kita mengontrol raga kita untuk tak makan dan minum untuk sekian waktu, tetapi menjadi lebih menantang kala kita juga mesti mengontrol hasrat jiwa kita. Bahkan kontrol untuk tak makan dan minum atau kontrol ragawi kita bergantung pada kontrol kita pada hasrat dan niat diri kita.
Kita mengontrol hasrat dan keinginan manusiawi kita untuk tak melakukan hal-hal yang berseberangan dengan ajaran iman. Jadi, urusan tak makan dan minum hanyalah salah satu wajah dari berpuasa.
Oleh sebab itu, berpuasa membutuhkan komitmen yang kuat. Komitmen itu muncul lewat kedisiplinan hidup dan dibarengi dengan kontrol diri.
Ditambah lagi, soal pola pikir. Pikiran kita tentang berpuasa harus diolah. Dalam arti, kita perlu tahu secara sadar bahwa berpuasa adalah aktivitas yang menguntungkan, bukan saja secara fisik tetapi terlebih khusus untuk jiwa kita.