Hari Minggu lalu (19/2/23), 17 orang yang berkategori usia remaja datang ke tempat di mana saya bekerja di Filipina. Mereka ini adalah penghuni lembaga sosial bernama Balay Pag-asa (Rumah Harapan) kepunyaan provinsi di mana saya tinggal.
Rumah harapan ini diperuntukan untuk anak-anak yang melakukan kriminal. Mereka yang dikategorikan anak-anak adalah di bawah usia 18 tahun.
Menariknya, ada beberapa di antara mereka yang masih melanjutkan sekolah mereka. Mereka juga dilatih dengan keterampilan tertentu. Mereka bisa diekspos ke komunitas-komunitas untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu.
Pendek kata, mereka tak seutuhnya terisolasi di dalam kompleks lembaga karena mereka masih diberikan waktu dan ruang untuk bersosialisasi dengan dunia luar.
Dari makna nama lembaga ini, Balag Pag-asa (Rumah Harapan) sudah sangat jelas bahwa anak-anak ini masih mempunyai harapan untuk menjadi orang baik selepas proses pembinaan di lembaga tersebut.
Bukan sekali ini saja mereka datang ke tempat saya. Sudah beberapa kali, dan jadinya kami sudah saling mengenal dan berbagi cerita.
Menurut pengakuan pendamping yang bekerja di lembaga ini, kasus yang dilakukan oleh anak-anak ini bervariasi. Tingkatan kasusnya pun berbeda-beda. Ada yang berat dan ada pula ringan. Juga, mereka datang dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda.
Namun, satu benang merah yang melatari perbuatan kriminal mereka adalah tuntutan hidup yang ditopang oleh kurangnya perhatian dari keluarga. Bila ditelusuri lebih dalam, sebagian besar anak melakukan kriminal lantaran pendidikan dan pendampingan di keluarga tak begitu kuat. Fondasi pendidikan keluarga begitu lemah.
Bahkan ada anak yang melakukan kriminal lantaran sikap pembiaran orangtua. Misalnya, orangtua tinggal di luar negeri dan merasa "nyaman" lantaran sudah memenuhi setiap kebutuhan anaknya yang tinggal di Filipina.
Padahal, kebutuhan material itu tak sepenuhnya menguatkan mentalitas anak dan menguatkan kepribadian anak. Malahan, anak memanfaatkan material itu untuk melakukan hal-hal yang salah.