Varian omicron menjadi tantangan banyak negara saat ini. Tingkat penyebaran juga cepat. Tak heran, jumlah pasien juga meningkat cukup cepat.
Vaksin Covid-19 menjadi solusi di tengah pandemi yang sedang terjadi. Tiap orang dari segala usia diminta, didorong, dan bahkan diwajibkan untuk mendapatkan suntikan vaksin Covid-19.
Akan tetapi, tak sedikit juga yang memilih untuk tak divaksin. Pelbagai alasan bisa melatari keputusan dari mereka yang tak mau divaksin ini.
Saya kenal dua orang yang tak mau divaksin. Pertama, seorang ibu yang sudah mendekati usia 70-an tahun.
Dia memiliki sakit jantung. Alasan sakitnya ini membuat dia memilih tak mau divaksin. Kendati sudah dijelaskan dan didorong, tetap saja dia tak mau divaksin karena menurutnya vaksin itu bisa saja menyebabkan efek samping dan mempengaruhi sakitnya.
Lalu, seorang rekan kerja. Rekan kerja ini belum memasuki usia 60 tahun. Kami begitu terkejut ketika dia menolak untuk divaksin. Bahkan dia rela kehilangan pekerjaannya daripada mendapatkan vaksin Covid-19.
Beberapa pekan lalu dia harus dirumahkan. Pasalnya, pemerintah di mana dia bekerja tak mengijinkan pelayanan dari pekerja yang tak mau divaksin. Dia lebih memilih untuk pindah tempat kerja daripada mengikuti aturan pemerintah.
Secara pribadi, pilihan pribadi sangat sulit dipahami. Pilihan pribadi sangat lekat dengan kebebasan, walaupun kebebasan pribadi juga dipertimbangkan dengan kepentingan umum.
Termasuk soal divaksin ataukah tidak. Ini adalah kebebasan pribadi untuk memilih. Namun, kebebasan pribadi ini perlu dipertimbangkan dengan situasi sosial, di mana kita tinggal.
Idealnya, kita divaksin bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga demi kepentingan bersama.