Karir politik Gibran Rakabuming Raka termasuk fenomenal. Tak butuh waktu lama bagi Gibran mendapat pengakuan politik. Pengakuan itu menyata lewat terpilihnya putera sulung Presiden Jokowi itu menjadi walikota Solo.
Tak heran, politikus PDIP Effendy Simbolon menyatakan bahwa Gibran adalah kader partai PDIP yang cenderung instan masuk dunia politik (CNN Indonesia.com 27/3/21). Masuknya ke partai hingga terpilih menjadi walikota pun memperjelas cepat naiknya karir Gibran sebagai seorang politikus.
Menurut Simbolon, para kader umumnya ditempah laiknya memulai dari biji. Tidak bisa langsung menjadi pohon.
Pada level partai, Gibran termasuk muka baru. Pindah haluan dari dunia bisnis ke dunia politik. Mengikuti jejak ayahnya, Gibran pun masuk PDIP. Barangkali tidak sulit bagi Gibran mendapat dukungan partai karena faktor popularitas dan kedekatan.
Dari level popularitas, nama Gibran sudah dikenal di mata masyarakat. Keterpilihannya di Pilkada juga sangat lekat dengan popularitas yang sudah dibangunnya di masyarakat. Bisa dikatakan bukan partai yang semata-mata membesarkan Gibran. Malah, partai hanya menjadi kendaraan Gibran untuk melanggengkan jalannya ke kontestasi Pilkada.
Masuknya Gibran ke PDIP tentu memberikan keuntungan tersendiri bagi partai. Bagaimana pun, nama partai tak bisa dipisahkan dari keberhasilan Gibran dalam memenangi Pilwalkot Solo. Bahkan karir dan kebijakan politik Gibran bisa sering bersentuhan dengan partai politik.
Dari sisi kinerja kerja, partai bisa mendapat kader yang bisa diandalkan untuk masa depan. Pada saat Gibran menunjukkan kinerja kerja yang baik sebagai walikota, hal itu bisa menjadi bahan bagi partai untuk menempatkan Gibran pada kontestasi yang lebih besar.
Akan tetapi, mencermati komentar dari politikus PDIP Effendy Simbolon, Gibran bisa saja berhadapan dengan batu sandungan kalau ingin melebarkan sayapnya di kontestasi yang lebih luas sejak dini. Misalnya saja, kalau Gibran mau bertandang ke Pilkada DKI Jakarta mendatang.
Tentu saja, PDIP tidak akan menerima begitu saja menerima pinangan Gibran kalau masuk kontestasi Pilkada DKI Jakarta. PDIP bisa saja mengedepankan kader-kader yang sudah tanam kaki dan berpengalaman dengan PDIP. Menempatkan Gibran dan mendahului kader-kader senior lainnya bisa saja menimbulkan gesekan politik di dalam partai.
Barangkali, hal ini yang bisa terbaca dari komentar dari politikus PDIP mengenai karir politik Gibran yang cenderung instan. Pasalnya, untuk bertarung di kontestasi yang lebih luas, pasti banyak kader-kader senior yang mau terlibat atau mau ditempatkan oleh partai. Mendahuli kader senior bisa menjadi prioritas.
Ambil contoh, andaika menempatkan antara Gibran dan Ibu Risma. Dari sisi popularitas, barangkali keduanya setara.