Kehadiran seorang anak selalu dinilai sebagai karunia terindah dalam relasi sepasang suami dan istri. Anak adalah karunia yang patut disyukuri, bukan saja oleh pasangan, tetapi oleh keluarga besar dari kedua belah pihak.
Sampai saat ini, di Manggarai, saat ada seorang perempuan melahirkan seorang anak, dia dan bayinya akan dikunjungi oleh banyak anggota keluarga lainnya. Kunjungan itu bisa bermakna membagi kebahagian di antara anggota keluarga dan menjadi ungkapan "selamat datang" kepada anggota keluarga baru.
Tidak jarang terjadi kalau orang menilai dan mengukur sebuah relasi dari kehadiran dan keberadaan anak. Tanpa anak berarti ada yang kurang dari relasi itu sendiri. Apalagi jika ini ditopang oleh konteks budaya dan sosial yang menilai kehadiran anak sebagai tolok ukur utama dari hidup berkeluarga.
Dua tetangga saya mempunyai nasib yang serupa. Hidup tanpa anak. Salah satu keluarga sebenarnya pernah mempunyai seorang anak. Tetapi anak mereka itu meninggal dunia sewaktu masih berusia balita. Tepatnya, 13 tahun lalu. Sampai saat ini, keluarga ini tidak dikarunia anak lagi.
Tetangga yang satunya lagi sama sekali belum mempunyai anak. Tetangga ini sudah berada di awal usia 40-an. Mereka hanya tinggal berdua. Jarak antara rumah dari tetangga ini dengan yang satunya hanya sekitar belasan meter.
Menariknya, kedua tetangga ini masih mempunyai hubungan yang sangat dekat. Yang Perempuan dan yang laki-laki masih berstatus saudara dan saudari kandung.
Makanya, sewaktu saya melihat hal itu, saya coba menduga situasi mereka dari faktor genetik. Namun, setelah di telusuri, ternyata saudara-saudari mereka yang lain mempunyai anak. Dugaan saya salah.
Di sini, di salah satu provinsi Filipini, beberapa situasi serupa dengan konteks di Flores. Tidak memiliki anak masih menjadi bahan sorotan banyak orang.
Kedua tetangga ini mempunyai rumah yang begitu bagus. Ini terjadi karena mereka mempunyai pekerjaan dan pendapatan yang mumpuni. Bahkan salah satu tetangga membangun rumah kedua tahun ini. Mempunyai dua rumah, tetapi tidak memiliki anak. Untuk siapa?
Tidak sedikit tetangga yang bereaksi. Reaksi mereka umumnya mengatakan untuk apa membangun rumah baru, sementara mereka sendiri tidak memiliki anak.
Reaksi seperti ini menunjukkan jika banyak orang masih mengukur relasi dari sisi kehadiran dan keberadaan seorang anak di tengah keluarga. Harta benda, termasuk rumah yang dimiliki saat ini ada dan akan diberikan kepada anak-anak kelak. Kalau tidak, harta itu akan melapuk bersama waktu.