Lihat ke Halaman Asli

Gobin Dd

TERVERIFIKASI

Orang Biasa

Terjebak di Rumah Sanak Saudara Selama Masa Karantina, Rasa Aman ataukah Beban?

Diperbarui: 12 Juni 2020   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi rumah. Sumber foto: Pexel.com

Rumah merupakan tempat ternyaman untuk kita. Setiap kita pergi ke tempat jauh, kita selalu rindu untuk pulang ke rumah. "There is no place like a home!" Demikian mungkin perasaan kita tentang rumah. 

Pada saat kita tinggal dan berada di rumah orang lain, bahkan rumah sanak saudara, selalu ada keinginan untuk cepat pulang ke rumah sendiri. Ada sesuatu yang acap kali rumit untuk dijelaskan tentang perasaan kita pada rumah sendiri dan rumah orang lain. Kita merasa nyaman di rumah sendiri, tetapi di rumah orang lain, kenyamanan kita bisa saja sesaat.

Ini bisa terjadi karena keterikatan dan kedekatan kita pada rumah kita sendiri. Rumah kita menjadi tempat nyaman dan aman di mana kita bisa mengekspresikan diri sesuka hati. Kita mengungkapkan jati diri kita di rumah kita sendiri.

Sementara berada di rumah orang lain bukanlah perkara gampang. Kita perlu beradaptasi. Kita perlu mengikuti ritme hidup keluarga yang menjadi pemilik rumah. Kita juga tidak bisa berlaku sesuka hati. Bahkan kita menjadi pribadi yang berbeda saat berada di rumah orang lain. Pendeknya, kita tidak bebas sebagaimana kita berada di rumah kita sendiri.

Aturan karantina yang diterapkan pemerintah Filipina memaksa banyak orang terjebak (stranded) di banyak tempat. Tidak bisa pulang ke rumah mereka. Memang ada yang masih nekat berjalan kaki. Ratusan kilometer. Demi pulang ke rumah mereka. Boleh jadi, pilihan sulit ini dibuat karena tempat karantina yang paling tepat dan nyaman hanyalah rumah sendiri.

Tetapi ada yang memaksakan diri untuk tetap tinggal di tempat tertentu, seperti kos, tempat penampungan tertentu, dan rumah sanak saudara. Tinggal dan berada di rumah sanak saudara menjadi pilihan bagi sebagian orang. Paling tidak, ikatan kekerabatan bisa menjadi penghubung di tengah situasi sulit.

Pada satu sisi, pilihan tinggal di rumah sanak saudara sebagai pilihan tepat. Kepulangan ke rumah sendiri bisa saja membawa petaka jika saja sudah terjangkit korona. Ini pun berlaku jika sanak saudara terbuka untuk menerima dan menampung kita selama terjebak di masa karantina.

Di sisi lain, suasana rumah  sanak saudara tetaplah tidak sama dengan kondisi rumah kita sendiri. Ada sekat-sekat tertentu yang menyulitkan kita untuk bergerak bebas. Terlebih lagi, jika tinggal dalam waktu yang lama. Boleh jadi, keberadaan kita menjadi beban tambahan bagi sanak saudara yang dijadikan tempat tinggal sementara selama masa karantina.

Sebut saja namanya Maria. Terjebak di rumah saudaranya. Tidak bisa pulang ke rumahnya di provinsi tetangga, salah satu provinsi di Filipina karena pintu keluar ditutup. Sudah hampir tiga bulan berada di rumah saudaranya itu. Karena itu, dia harus tinggalkan suami dan anak-anaknya. Situasi ini terjadi tanpa rencana. Dia terlambat bergerak keluar dari rumah saudaranya.

Rencananya, pemerintah provinsi memperpanjang masa karantina menimbang ditemukan dua kasus baru dalam jangka waktu yang terbilang singkat. Begitu pula, Maria juga akan memperpanjang masa tinggalnya di rumah saudaranya.

Tentunya, Maria tidak bisa berbuat apa-apa. Mau tidak mau, dia harus kembali tinggal di rumah saudaranya itu. Untuk menebus diri dari masa tinggalnya, dia ikut membantu saudaranya di kebun dan di peternakan babi. Jadinya, masa tinggalnya bukan menjadi beban bagi keluarga saudaranya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline