Bahasa daerah menandakan tempat asal kita. Pemakaian bahasa daerah mempengaruhi logat dan aksen kita dalam berbicara. Ini pun membedakan kita dengan orang lain.
Dari Sabang sampai Merauke, kita boleh saja berbahasa Indonesia. Tetapi aksen dan logat kita dalam berbahasa Indonesia itu bisa mengidentifikasi tentang asal daerah dan suku.
Siapa saja pasti nyaman berbahasa daerah. Apalagi kalau berbahasa daerah di tempat rantauan. Rasanya seperti pulang kampung.
Perasaan dan pikiran gampang disampaikan. Lewat bahasa daerah, pembicaraan menjadi lancar dan itu membangun kedekatan di antara satu sama lain. Tidak heran, sebab orang-orang sedaerah menjadi dekat di tanah rantau karena faktor bahasa daerah yang dipakai dan dipahami bersama.
Berbahasa daerah selalu menunjukkan kekhasan setiap orang. Sangat sulit kita melihat kalau orang yang berasal dari daerah yang sama tidak memakai bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari.
Saya pernah tinggal beberapa tahun di sebuah lingkungan yang terdiri dari orang-orang yang berasal dari suku dan daerah yang berbeda-beda. Hanya satu bahasa yang menyatukan kami. Bahasa Indonesia.
Ada beberapa teman yang seasal dan sedaerah dengan saya. Kami sekitar sembilan orang. Setiap kali kami bertemu dan berkumpul, kami berbahasa daerah. Meski aturannya berbahasa Indonesia, di antara kami sendiri kami tetap berbahasa daerah.
Kami merasa nyaman berkomunikasi dengan bahasa daerah. Kalau berbahasa Indonesia, kadang percakapan terkesan formil.
Rupanya apa yang kami praktikkan itu dinilai secara berbeda oleh orang lain. Mereka menilai itu sebagai praktik sukuisme.
Lantas, apa itu sukuisme?
Seturut pemahaman yang termuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sukuisme dipahami sebagai paham atau praktik yang mementingkan suku bangsa sendiri.