Saya pernah terlibat dalam sebuah diskusi tentang pemilihan pemimpin daerah. Fokus diskusi berkutat pada topik pemimpin daerah seperti apa yang patut dipilih dalam sebuah kontestasi politik. Kebetulan waktu itu sedang hangatnya kampanye politik.
Ada banyak ide dan pandangan yang diutarakan. Hampir semua orang yang terlibat dalam diskusi mempunyai pendapat tentang para calon.
Dari tiga pasangan calon, semua orang mengutarakan pendapat mereka masing-masing. Pendapat berbeda karena calon yang dipilih pun berbeda.
Dari pelbagai pendapat yang muncul, ada kecenderungan untuk memilih seorang pemimpin karena faktor kepentingan pribadi dan kelompok.
Ada yang mau memilih pemimpin tertentu demi kepentingan anaknya yang mungkin bisa diakomodasi untuk kerja di instasi pemerintahan. Ada yang memilih calon tertentu karena yang bersangkutan pernah memberi sumbangan. Ada yang memilih calon tertentu karena kepentingan wilayah dan keluarga.
Jadinya, diskusi untuk memilih pemimpin lebih pada soal kepentingan daripada pembedahan kualitas yang mau diangkat dari para calon pemimpin.
Karena faktor-faktor ini, faktor kualitas dan kapabalitas calon untuk memimpin terabaikan. Faktor kepentingan pribadi dikedepankan dan menjadi perhatian.
Ya, memilih seorang pemimpin secara langsung adalah bagian dari sistem demokrasi kita dan hidup sosial kita. Karena keistimewaan sistem ini, kita mempunyai hak untuk bisa memilih siapa yang pantas untuk menjadi pemimpin bagi kita.
Meskipun sistem menekankan kerahasiaan, tetapi faktor kepentingan pribadi kerap membuka selubung kerahasiaan dari siapa yang dipilih dalam sebuah kontestasi.
Tidak heran di dalam sebuah lingkungan kecil kadang kali gampang untuk mendeteksi pilihan yang dibuat. Hal ini bisa dilihat dari kepentingan yang dibawah oleh para pemilih dalam memilih calon pemimpin tertentu.
Selain itu, nilai kepantasan pada seseorang untuk menjadi seorang pemimpin kadang subyektif. Dalam arti pandangan kita belum tentu sepandangan dengan orang lain.