Beberapa waktu lalu, publik tanah air sedikitnya dikejutkan dan kagum dengan pemilihan Presiden Jokowi pada beberapa staf khususnya. Keterkejutan dan kekaguman publik itu dilatari karena staf khusus itu umumnya berasal dari kaum milenial.
Pelbagai macam reaksi dan pandangan muncul atas penentuan kaum milenial itu sebagai bagian dari staf khusus kepresidenan. Seperti biasa reaksi dan pandangan dalam dunia politik. Ada yang pro dan kontra.
Yang pro berpandangan dengan mengatakan kalau penentuan itu menunjukkan perhatian negara pada peran kaum milenial. Kaum milenial mendapat tempat karena mereka dinilai bisa memberikan kontribusi. Apalagi mereka umumnya mengenal dengan baik situasi saat ini.
Sebaliknya tidak sedikit orang yang meragukan kemampuan kaum milenial itu untuk duduk di posisi yang ditetapkan untuk mereka.
Betapa tidak, posisi itu tidak hanya membutuhkan orang yang berpengetahuan, tetapi juga berpengalaman dalam bidangnya itu. Faktor pengalaman menjadi salah satu garis besar dari pandangan beberapa orang.
Kadang kala terjadi kalau akumulasi pengetahuan tidak memberikan jawaban dan solusi pada konteks dan realitas yang dihadapi. Kurangnya pengalaman, seseorang yang berpengetahuan kadang kala tidak bisa menyesuaikan diri.
Walaupun demikian, performa kaum milenial dewasa ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Ada banyak kaum milenial yang sudah menjadi garda terdepan dalam kehidupan sosial dan politik.
Contohnya adalah kehadiran Nadiem Makarim (35 tahun), mantan bos Gojek dan sekarang menjabat menteri pendidikan untuk periode ke-2.
Gebrakan dan gagasan yang dihadirkan Nadiem sebagai Menteri Pendidikan beberapa waktu terakhir ini menimbulkan rasa puji dan kagum dari publik tanah air dan bahkan dari pengamat dunia pendidikan tanah air.
Ini artinya kalau status milenial tidak bisa semata-mata diukur dari faktor pengalaman mereka pada bidang yang diduduki, tetapi kemampuan mereka membuat terobosan yang selaras jaman.
Kehadiran kaum milenial dalam konteks dunia sosial dan politik bukanlah hal yang baru di beberapa negara. Mungkin ini menjadi hal yang baru bagi sebagian orang karena tidak terbiasa dengan situasi dan kenyataan seperti itu. Dalam mana, yang muda kerap dinilai tidak mampu dan tidak siap untuk menjadi pemimpin dalam konteks sosial.