Lihat ke Halaman Asli

Gobin Dd

TERVERIFIKASI

Orang Biasa

Politik Tanpa Sekat SARA, Mungkinkah?

Diperbarui: 1 Maret 2017   18:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelum dan saat menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump kerap menyoroti kehadiran kaum imigran ilegal di AS. Dia pun hadir dengan ide membangun tembok di perbatasan antara Amerika Serikat dan Mexico. Tujuan tembok itu yakni untuk membendung masuknya imigran ilegal dari Mexico ke Amerika. Ide ini mengundang pertanyaan dan perdebatan. Apa maksud dan bentuk sesungguhnya dari tembok ala Trump? Apakah tembok itu bisa mengatasi laju imigran ilegal ke AS? Terlepas dari perdebatan dan pertanyaan yang muncul, yang pasti Trump mau menciptakan sekat di mata publik. Sekat ini nyata secara fisik dan memisahkan kewarganegaraan dua bangsa. Akibatnya jelas, tembok itu menjadi penentu identitas dua bangsa.

Di balik terobosan Presiden Trump, di tahun 1936 terlahir sebuah buku karya Stefan Sweig yang menggarisbawahi tentang pluralisme. Dalam bukunya berjudul, Brazil: The Land of the Future Stefan Sweig memuji iklim Brasil yang plural. Kaum imigran yang datang dari pelbagai macam ras, seperti Portugis, Jerman, Yahudi, Jepang, Italia hidup berdampingan secara damai. Sekat suku dan ras tidak menghalangi mereka untuk berinteraksi. Lebih lanjut, negara Brasil sendiri begitu akomodatif merangkul setiap orang dari pelbagai ras. Kalau saja, Brasil menciptakan sekat untuk memisahkan mereka dengan kelompok-kelompok itu, pasti keharmonisan tidak terjadi. Malahan yang terjadi bisa kecurigaan di antara mereka dan berujung pada konflik antar golongan. Pertanyaannya, apa resep yang ada di balik keharmonisan pelbagai ras ini?

Boleh jadi, mereka mengesampingkan atau menghancurkan sekat di antara mereka. Mereka tidak melihat suku, agama dan bangsa mereka sebagai pembatas untuk berinteraksi. Tentu saja, latar belakang masih menjadi bagian dari diri mereka, tetapi itu tidak menjadi pakaian atau alat untuk masuk ke komunitas sosial. Dengan kata lain, identitas mereka tidak menjadi standar untuk berinteraksi dengan yang lain. Saat sekat perbedaan dikesampingkan, saat itu pula mereka bisa bergaul dengan kelompok-kelompok yang berbeda.

Rasanya sulit untuk menghidupi apa yang tertuang dalam tulisan Stefan Zweig untuk konteks masa kini. Buktinya, lihat saja situasi di sekitar kita. Lagi-lagi contohnya Presiden Trump, yang muncul dengan aturan travel ke AS. Dia melarang beberapa warga negara Muslim seperti Iran, Iraq, Syria, Sudan, Libya, Yemen dan Somalia masuk AS. Mengapa hanya negara-negara Muslim? Untungnya, Indonesia tidak masuk ke dalam daftar sang presiden baru. Larangan seperti ini bukannya mempertipis sekat, tetapi mempertebal sekat yang sudah ada. Ini menimbulkan stereotip kepada kelompok tertentu. Dan kelompok ini bisa juga melihat Amerika Serikat sebagai lawan.

Lalu, kita melihat situasi di negara kita dewasa ini. Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan yang sudah lama menjiwai pluralisme dari negara yang terdiri 17 ribuan pulau ini. Pertanyaannya, sejauh mana semboyan itu dimaknai? Pemaknaan di sini meliputi cara hidup harian kita sebagai warga negara. Pemaknaan itu juga hadir dalam relasi politis yang tidak memperhitungkan latar belakang. Singkatnya, apa pun latar belakang kita, kita adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Namun, keraguan tampak saat menyaksikan sekat SARA (Suku, Ras, Agama dan Antar golongan) begitu kuat menggoncangkan dunia politik. Kekecewaan hadir saat sekat suku dan ras menciptakan pikiran-pikiran sesat di masyarakat. Pada titik ini, partisipasi politik kerap dipertimbangkan dari aspek SARA. Pikiran primordial lainnya ikut naik ke permukaan. Kelompok mayoritas di bidang politik mesti didahulukan sementara minoritas mendapat jatah sampingan dari kaum mayoritas. Akibatnya, saat seorang pemimpin muncul dari kaum minoritas, isu SARA pun menjadi alat untuk menjegal dan menjatuhkan sang pemimpin.

Realitas Indonesia mengatakan kalau politik dan isu SARA seolah berboncengan. SARA kuat menempel kontestasi politik tanah air. Apalagi kalau aktor-aktor politik turut bermain di belakang layar. Mereka menggunakan isu-isu primordial untuk menjegal lawan politik dan menggolkan calon yang didukung. Karenanya selalu muncul pertanyaan berbau SARA saat ada kontestasi politik. Apa agama calon itu? Keturunan apa calon tersebut? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa untuk konteks politik Indonesia dengan sekat SARA begitu sulit untuk ditanggalkan.

Namun, kita tidak boleh berkecil hati. Politik tanpa sekat SARA juga bisa terjadi. Pada waktu Sadiq Khan terpilih menjadi walikota London, masyarakat kota London tidak terlalu mempersoalkan latar belakangnya. Yah, Sadiq Khan adalah seorang Muslim pertama yang berketurunan Pakistan menjabat sebagai walikota London. Menariknya, orang tidak turun ke jalan, membawa motif agama dan suku untuk menjegalnya bersumpah sebagai seorang walikota London pada 9 Mei 2016.

Politik tanpa sekat SARA itu bisa terjadi. Yang membuatnya terjadi bergantung pada pilihan kaca mata kita dalam melihat perbedaan. Kita mesti menggunakan kaca mata positif untuk bisa menerima perbedaan orang lain. Kita salah memilih kaca mata saat kita cenderung menilai kelompok sendiri sebagai pihak yang selalu benar. Di samping itu, kita tidak berani menggunakan kaca mata lain karena kita takut kalau golongan kita tersingkir dan tidak mendapat tempat di dunia politik. Padahal, itu belum tentu benar. Saat kita melihat perbedaan dengan kaca mata positif, saat itu kita bisa menunjukkan martabat kita sebagai golongan yang pro-perbedaan. Apa pun latar belakang seorang politikus, yang terpenting dia bekerja untuk kepentingan bersama.

Dunia politik tanpa sekat SARA adalah sebuah perjuangan. Kita berjuang agar sekat SARA perlahan rubuh. Kita bersatu padu memperjuangkan kepentingan bersama tanpa pertimbangan latar belakang tertentu. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline