Lihat ke Halaman Asli

Netralitas Kepala Desa dan Perangkat Desa Dalam Pelaksanaan Pemilu 2024: Sanksi Ancaman Pidana?

Diperbarui: 29 Oktober 2024   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dorma Hotmaria Sianipar

          Indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham demokrasi sebagaimana diatur di dalam konstitusi UUD 1945. Sehingga, keniscayaan apabila partai politik ditiadakan di negara penganut paham demokrasi. Demikian halnya Kepala Desa dipilih melalui pesta demokrasi atau lebih dikenal pemilihan umum (Pemilu). Secara hierarki, Kepala Desa atau Kades adalah struktur pemerintahan terendah di bawah kabupaten. Namun, dalam konteks posisi politik, Kepala Desa merupakan alat kepentingan partai politik maupun penguasa. Pada umumnya, praktik tersebut dilaksanakan ketika dalam pelaksanaan pemilihan umum. Padahal, jika berbicara tentang regulasi hukum yang mengatur seharusnya Kepala Desa maupun Perangkat Desa tidak boleh berpihak atau harus mengambil sikap netral. Perlu diketahui, mengapa Kepala Desa maupun Perangkat Desa harus bersikap netral? Yang pertama, Kepala Desa maupun Perangkat Desa merupakan pelayan masyarakat, yang mana tidak boleh berpihak kepada salah satu pasangan calon atau Paslon atau terpengaruh. Yang kedua, Kepala Desa sangat rentan untuk dipengaruhi.
          Sehubungan dengan netralitas Kepala Desa telah diatur di dalam regulasi yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.  Di dalam ketentuan Undang-Undang  Desa, Kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik, ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah, menyalahgunakan kewenangan, mempengaruhi masyarakat untuk memilih salah satu pasangan calon, serta mengintimidasi masyarakat jika tidak memilih salah satu pasangan calon yang diunggulkan.  Apabila Kepala Desa melanggar ketentuan tersebut, maka dijatuhi sanksi administratif berupa teguran lisan dan atau teguran tertulis. Kemudian, apabila sanksi administratif tidak dilaksanakan maka akan dilakukan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian permanen.
          Pada Pasal 282 Undang-Undang Pemilu, bahwa kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye. Merujuk pada pasal tersebut, apabila kepala desa tidak mengindahkan ketentuan tersebut. Maka, pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan  Pasal 490 "Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)".
          Apakah boleh Kepala Desa menghindar dari sanksi hukum dengan alasan tidak mengetahui regulasi yang berlaku? Tentu jawabannya TIDAK, karena hukum bersifat memaksa. Artinya, harus dipatuhi, dilaksanakan, dan diterapkan, serta memiliki paksaan yang mutlak. Setiap peraturan hukum yang sudah diundangkan maka semua orang dianggap mengetahui sehingga hukum dapat ditegakkan dan dapat melindungi kepentingan dalam pergaulan kehidupan masyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline