Lihat ke Halaman Asli

Demokrasi Serasa Monarki: RUU Penyiaran Memandulkan Demokrasi

Diperbarui: 10 Juni 2024   08:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dorma_hs

Kemerdekaan pers merupakan kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan dan tanggungjawab profesi yang dijabarkan di dalam kode etik jurnalistik disertai dengan hati nurani insan pers, sebagaimana dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Artinya pers tidak mengesampingkan etika, moral, dan hukum profesi. 

Kemerdekaan pers merupakan wujud dari negara demokrasi atau perwujudan kedaulatan rakyat. Tugas dan fungsi pers yaitu mengamankan hak-hak warganegara yaitu fungsi informatif, fungsi kontrol pers, fungsi interpretatif dan direktif, fungsi menghibur, fungsi regeneratif, fungsi pengawalan hak-hak warga negara, fungsi ekonomi, serta fungsi swadaya.

Dengan dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang atau RUU Penyiaran dapat berpotensi terhadap pengekangan terhadap fungsi atau kebebasan pers. Beberapa pasal kontroversial dari RUU Penyiaran, yaitu:

  • Pasal 50 B ayat (2) huruf c, menyatakan Standar Isi Siaran (SIS) melarang muatan terkait penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Poin ini dinilai tidak sesuai dengan fungsi kontrol dari seorang jurnalisme. Jurnalisme hadir karena adanya kegelisahan dan ada hak-hak yang tidak terjawab. Jurnalisme investigasi kehadirannya untuk mencari kebenaran hukum dan keadilan sosial pada publik. Investigasi untuk mencari dan menemukan bukti sehingga tercipta komunikasi sosial yang dapat diakses.
  • Pasal 42 ayat 2, yang pada pokoknya menyatakatan penyelesaian sengketa terkait jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Poin ini dinilai tumpang tindih dengan fungsi Dewan Pers sebagaimana dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
  • Pasal 50 B ayat (2) huruf j, yang pada pokoknya menyampaikan terkait larangan isi siaran dan konten siaran yang secara subjektif menyangkut kepentingan politik yang berhubungan dengan pemilik daan atau pengelola lembaga penyiaran dan penyelenggara platform digital pen yiaran.

Adapun yang melatarbelakangi dikeluarkannya RUU Penyiaran karena salah satunya ada pernyataan dari salah satu Komisi 1 DPR RI yang menyatakan alasan dibuat draft di Pasal 50 RUU Penyiaran karena adanya jurnalisme investigasi dapat terpengaruh pada proses penyidikan, penyelidikan perkara yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum. 

Bukankan pernyataan tersebut membungkam demokrasi untuk mendapatkan informasi di tanah air ini? Jurnalistik sebagai peran untuk mencari kebenaran hukum dan keadilan sesuai dengan fungsinya. Akankah Pers sebagai alat fungsi kontrol pemerintah  berubah fungsi melegalkan kekuasaan? 

Fenomena ini sama saja dengan sistem pemerintahan monarki, apabila seorang pemimpin pemerintahan atau seorang yang mempunyai kekuasaan di negara ini dan melakukan kesalahan terhadap undang-undang maka kesalahan itu dapat dengan mudah dihilangkan. Sehingga, partisipasi rakyat berkurang dan penyalahgunaan kekuasaan semakin bertambah.

Rancangan Undang-Undang Penyiaran perlu ditinjau ulang kembali supaya sila pers ditegakkan agar tidak mengalami kemunduran demokrasi dan kebenaran apalagi dimandulkan.

Mengutip pendapat dari ahli filsafat (John Milton) tentang kebebasan berbicara untuk kemajuan, yaitu:

Membela dengan gigih kebebasan berbicara dan menentang dengan keras sensor.

"Give me the liberty to know to utter and to argue freely accourding to conscience, above all liberties" (Berilah aku kebebasan untuk mengetahui, mengucapkan, berpendapat dengan bebas menurut hati nurani diatas segala kebebasan).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline