Lihat ke Halaman Asli

DONY PURNOMO

Pengajar dan Penulis

Hak Preogratif Juri Itu Seperti Apa?

Diperbarui: 14 April 2019   14:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Ilustrasi kekalahan ( Sumber: sinizam.com)

Kemarin tanggal 12-13 April Saya mengantarkan bimbingan saya untuk mengikuti lomba di sebuah PTS. Kegiatan lomba ini meliputi rangkaian panjang seleksi hingga akhirnya masuk 10 besar. Semua finalis beradu inovasi mulai dari teknologi, ekonomi, sosial dan pendidikan.

Semua peserta nampak antusias untuk mengikuti lomba dan mempertahankan argumennya. Tujuannya satu, yaitu bisa menjadi juara di ajang lomba tersebut. Dewan juri pun juga sempat memberikan pertanyaan atas inovasi seluruh peserta.

Satu demi satu peserta selesai presentasi penjurian pun juga sudah selesai dilakukan. Singkat cerita tibalah waktunya pengumuman para pemenang lomba. Nampak, semua peserta harap-harap cemas menunggu pengumuman dan pengumumanpun diumumkan. Hasilnya bimbingan saya tidak masuk menjadi juara.

Usai acara saya meminta rekapan penilaian dari semua juri untuk mengetahui kelemahan yang ada pada kelompok yang saya bimbing sehingga dari kelemahan itu bisa digunakan untuk memperbaiki kekurangan itu sehingga akan lebih baik lagi.

Saya meminta anak bimbingan saya untuk meminta rekapan penilaian ketiga juri dan balasan dari panitia adalah penjurian adalah hak preogratif dewan juri. Okelah, jawaban itu bisa saya terima tetapi yang menjadi ganjalan saya adalah meskipun itu hak dewan juri apakah tidak ada angka-angka rekapan untuk penentuan pemenang.

Sampai saat inipun saya masih penasaran hak Preogratif juri itu yang seperti apa? Apakah menilai berdasarkan suka dan tidak suka? Apakah menilai dari substansi karya? apakah menilai dari karya dan dan penampilan peserta? Atau mungkin dengan indikator yang lainnya. Padahal dalam juknis jelas ada indikator yang digunakan untuk acuan penilaian.

Dengan model lomba seperti ini menurut hemat saya adalah proses pendidikan yang tidak pas. Secara tidak langsung akan membuka celah pemikiran negatif, yaitu ketidak transaparanan dalam proses penilaian. Ketika ini dimaknai mendalam pada anak, seolah hal itu adalah hal yang biasa karena dalam perlombaan pun juga demikian.

Proses-proses seperti ini sebaiknya disadari oleh panitia karena dalam lomba digemakan sportifitas dan obyektif tetapi dalam perjalanannya proses itu justru diingkari oleh panitia.

Nasi telah menjadi bubur, maka tambahkan saja ayam goreng untuk menikmatinya. Semoga wajah pendidikan di Indonesia semakin baik dan semakin banyak inovasi yang dikembangkan putra dan Putri terbaik bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline