Dahulu masyarakat desa selalu identik dengan pertanian, karena kebanyakan masyarakat desa bekerja pada sektor pertanian. Seperti lirik lagu yang pernah dipopulerkan koesplus berikut ini;
"Ayem tentrem ing ndesane pak tani
Urip rukun bebarengan
Mbangun desa sak kancane pak tani
Nyambut gawe tanpo pamrih"
Lagu ini pernah tenar dimasa kejayaan koesplus yang menceritakan kehidupan petani yang ada di desa yang hidup rukun, damai, tentram dan menjunjung tinggi gotong royong dan kebersamaan tanpa pamrih.
Seiring perkembangan zaman nilai ini mulai luntur karena semakin sedikitnya generasi muda pedesaan yang mau terjun dalam sektor pertanian. Mereka lebih suka merantau untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Kini petani yang ada di desa didominasi oleh orang-orang yang sudah usia tua hingga lanjut. Mereka tetap bertahan di sektor pertanian karena memang keahliannya dibidang itu dan untuk mempertahankan tanah garapan warisan.
Kini persoalan pertanian di pedesaan mulai kompleks karena saat panen mereka tidak memiliki nilai tawar yang lebih karena harga dengan mudahnya meluncur bebas. Saat musim tanam mereka terpaksa menjual hasil panennya untuk menutup operasional pengolahan lahan yang tinggi. Belum lagi mereka harus menanggung harga pupuk non subsidi saat pasca tanam. Dalam hal ini yang diuntungkan adalah tengkulak yang memiliki modal sehingga dapat menimbun gabah dalam jumlah banyak. Begitu harga naik mereka mengeluarkan berasanya demi meraup keuntungan yang berlimpah.
Permasalahan berikutnya semakin sulitnya mendapatkan tenaga kerja untuk menggarap sawah sehingga biaya pengolahan sawah menjadi mahal karena harus membayar lebih mahal tenaga yang mau dipekerjakan. Pekerja yang mau pun kebanyakan orang-orang yang sudah tergolong tidak produktif lagi untuk bekerja di bidang pertanian. Namun, apa daya karena tidak ada pilihan daripada tidak ada sama sekali terpaksa menggunakan tenaganya.
Sistem waris yang ada menambah tidak produktifnya lahan yang ada di pedesaan. Biasanya orangtua membagi tanah yang dimiliki kepada anak-anaknya. Awalnya satu petak besar karena anaknya banyak dibagi menjadi kecil-kecil sehingga akan menurunkan produktifitas sawah karena tidak setiap anak yang diwarisi memiliki kemampuan memadai dalam mengolah sawah.
Jika hal ini berlanjut sawah-sawah yang awalnya sebagai lumbung padi akan semakin menyusut produktifitasnya dan lambat laun akan terbengkelai karena tidak adanya penggarap sawah yang memiliki kemampuan memadai. Dalam jangka panjang akan merongrong ketahanan pangan negeri ini. Semoga pemerintah semakin memperhatikan masalah pertanian sehingga swasembada pangan dapat terwujud dan dapat mengurangi ketergantungan dengan negara lain melalui impor.
Impor memang jalan yang paling mudah untuk mencukupi kebutuhan, tetapi jika negara kita saja ada lahan yang dapat ditanami lebih baik dioptimalkann dan didukung kebijakan pemerintah yang pro pertanian. Sudah saatnya Indonesia yang konon negara agraris memiliki petani-petani yang melek teknologi sehingga mampu mengolah lahan pertanian dengan efektif dan efisien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H