*Ini tulisan pernah dimuat di www.seluang.id yang saat itu, Aina, masih belum mendapatkan hati yang baru. Sekarang, Aina sudah mendapatkan hati yang baru, dan tumbuh menjadi anak yang sehat di Cirebon.
***
Sore itu, saya bergegas mencari tukang ojeg. Nafas Nasywa sudah tersengal. Ini tidak seperti biasanya. Saya jadi pelupa.
Tiket kereta tidak ada di dalam tas yang saya bawa. Saya telepon suami, mengabarkan keadaan kami yang terkatung-katung di Stasiun Bekasi yang padat itu dengan uang tunai tak lebih dari Rp 15 ribu.
Sekitar 30 menit, suami datang. Sekira pukul 15.00 wib, kami naik kereta listrik jurusan Bekasi-Jakarta Kota.
Nafas Nasywa makin sering tersengal. Saya peluk dalam-dalam dan sesekali berdoa, Tuhan, selamatkan anak saya,.
Entah di stasiun mana, Nasywa batuk. Dan seketika, kami kehilangan putri kedua kami di dalam kereta yang akan membawa kami menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Ingin berteriak di dalam kereta yang melaju bagai siput, saya tak berani. Ingin menangis, tapi saya tahan sekuat mungkin.
Saya memilih membendung air mata yang kapan saja keluar dari mata saya.
Dengan sekuat hati, saya tahan semua kesedihan itu. Mendekap Nasywa yang sudah tak lagi bernyawa di atas kereta, 26 Juli 2016.