Lihat ke Halaman Asli

Air Mata di Tanah Bandara

Diperbarui: 14 November 2020   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Silam, saat menolak pembangunan proyek New Yogyakarta International Airport di Kulon Progo, DIY. Sumber foto: kompas.com

*ini tulisan lama yang ingin saya unggah. saya hanya ingin berbagi cerita tentang pengalaman melihat langsung perlawanan warga Kulon Progo saat proyek pembangunan NYIA dilaksanakan. Berikut ini kisahnya:

***

Sofyan baru saja keluar masjid. Dari arah Timur, ratusan orang-orang berbadan tegap, lengkap dengan senjata dan bolduser bersuara serak bergerak cepat menuju salah satu rumah warga penolak Bandara New Yogyakarta International Airport. Sofyan dan beberapa warga berlari lebih cepat mendekat ke lokasi. Membuat pagar hidup bersama warga yang memilih bertahan. Lolongan sirine tak membuatnya gentar. Ia tetap tegap berdiri.

"Ora ana wong sing wedi karo bedhil saiki. Dong ora? Dikiro wedi, ora wedi! (Tidak ada orang yang takut sama pistol sekarang. Paham tidak? Tidak takut!)," kata salah seorang warga penolak. "Kae diundurke kae. Aku njaluk tulung kae diundurke nek aku dikon bali. (Alat berat, itu dimundurkan. Saya minta tolong itu dimundurkan kalau saya disuruh pulang)," lanjutnya.

Bolduser mengamuk. Ia seperti kelaparan. Ia menerjang apa saja yang ada di depannya. Memakan salah satu rumah milik warga penolak. Satu per satu bagian rumah, hancur. Rebah ke tanah. Pagar hidup tetap berdiri dan tiada hentinya berdoa, meminta agar Tuhan menghukum mereka yang merusak tempat tinggalnya. Merusak alamnya. Merusak matapencahariannya. Merusak kehidupannya.

***

"Beberapa hari ini, warga mulai sakit-sakitan. Batuk, sesak nafas, pusing. Debunya banyak sekali. Di sini kalau malam dingin,". Pesan singkat dari Sofyan, salah satu warga penolak mega proyek Bandara New Yogyakarta International Airport masuk ke gawai saya.

Seminggu selepas penggusuran yang dilakukan Angkasa Pura I beserta aparat gabungan, warga yang tetap menolak tinggal di salah satu bangunan yang sepertinya dibiarkan tetap berdiri. Masjid. Ya, 19 kepala keluarga memilih tinggal di masjid daripada harus pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Meninggalkan tanah garapannya. Sisanya, mendirikan tenda-tenda di bekas bangunan rumahnya yang sudah rata dengan tanah.

Saya tak lantas membalas pesan singkat Sofyan. Saya tak kuat. Benar-benar tak kuat dan tak bisa membayangkan nasib warga yang ingin mempertahankan haknya. Hak atas tanahnya itu. Banyak balita dan anak-anak usia sekolah tinggal di masjid. Mendirikan tenda di teras masjid yang usianya jauh dari mereka.

"Sekarang angina cukup kencang. Debu tebal pekat sampai wilayah warga luar pagar,". Sofyan kembali mengirim pesan singkat kepada saya. Saya tak bisa menjawabnya. "Tetap doakan yang terbaik untuk kami dalam mencari keadilan dan ridho Ilahi,". Sambung Sofyan dalam pesan singkat itu. "Aamiin," jawab saya. Singkat. Ya. Memang singkat. Saya tak punya kata-kata yang pas untuk menggambarkan duka itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline