Kota Neofelix sebuah kota yang berdiri megah dengan perpaduan arsitektur modern dan tradisional, mencerminkan harmoni antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai budaya. Terletak di tengah-tengah dataran luas yang dikelilingi oleh pegunungan hijau, Neofelix menawarkan pemandangan alam yang menakjubkan sekaligus kehidupan perkotaan yang dinamis.
Namun malam itu, di sebuah restoran mewah di sudut kota, suasana terasa begitu berbeda. Lampu kristal yang bergantung di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, menerangi meja-meja yang tertata rapi dengan taplak putih bersih.
Di ruangan VIP yang terletak di bagian belakang, suasana jauh dari kesan santai. Beberapa pria dengan jas mahal duduk mengelilingi meja oval besar, wajah mereka serius, bibir terkunci rapat.
Pak Budi, seorang politikus senior dari partai terbesar di negeri ini, duduk di ujung meja. Usianya sudah tidak muda lagi, namun sorot matanya tajam, seperti elang yang siap menerkam mangsa. Di depan para koleganya, Pak Budi memulai pembicaraan yang sudah lama mereka hindari, tapi kini tak bisa lagi diabaikan.
"Saya rasa kita semua sepakat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini sungguh di luar dugaan," kata Pak Budi, membuka pertemuan dengan suara rendah namun penuh penekanan. "Mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah... itu artinya, membuka peluang bagi partai-partai kecil untuk ikut bermain di wilayah kita. Ini jelas ancaman bagi kita semua."
Beberapa anggota dewan lainnya mengangguk pelan. Mereka tahu, di balik kata-kata Pak Budi, tersimpan ketakutan akan kehilangan kendali. Dominasi partai besar yang selama ini tak tergoyahkan, kini terancam oleh keputusan yang tiba-tiba dan tak terduga.
Pak Yudi, seorang politisi muda yang ambisius dari partai koalisi, mengangkat tangan dan berdehem. "Tapi, Pak Budi, bukankah ini bagian dari demokrasi? Kita seharusnya... membiarkan partai-partai kecil ikut berkompetisi, bukan?"
Suara tawa ringan terdengar dari ujung meja. Pak Budi menatap Pak Yudi dengan senyum penuh arti. "Yudi, anak muda sepertimu memang sering kali terlalu idealis. Demokrasi, ya... tapi demokrasi macam apa? Kita tidak bisa membiarkan kekuasaan kita tergoyahkan begitu saja. Jika kita kehilangan kendali di daerah, bagaimana kita bisa melanjutkan program-program kita?"
Pak Yudi terdiam, menyadari kesalahannya. Pak Budi melanjutkan, "Inilah saatnya kita bertindak. Kita harus mencari cara untuk menganulir keputusan ini. Kita tidak bisa hanya duduk diam dan melihat partai-partai kecil merusak apa yang sudah kita bangun selama ini."
Diskusi pun berlanjut, semakin serius. Mereka mulai merumuskan strategi, mencari celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk membatalkan putusan MK tersebut. Di atas meja, mereka berbicara tentang "keadilan" dan "kesejahteraan rakyat," tetapi di dalam hati, niat mereka hanya satu: mempertahankan kekuasaan dan menghalangi siapa pun yang berani menantang mereka.