Lihat ke Halaman Asli

Mengais Kebanggaan yang Bukan Semu

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Apa yang anda pikirkan jika diminta mendeskripsikan tentang Indonesia? Saya bisa prediksi tentu jawabannya lebih banyak mengarah kepada kebobrokan. Korupsi yang merajalela bak menjadi virus yang sampai sekarang tidak ditemukan obatnya. Mafia peradilan yang terus merebak dan melibatkan pejabat-pejabat negara. Belum lagi kasus-kasus kriminal lainnya yang belum ada titik temu. Semakin menambah derita rakyat yang belum berhenti bertarung melawan kemiskinannya.

Lalu kebanggaan apa yang bisa kita tampilkan? Jangan bilang tentang kekayaan atau keindahan alam negeri beribu pulau ini. Itu hanya warisan nenek moyang.Tak lebih kita hanya punya kebanggaan yang bukan semu. Tentang Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama yang menghabiskan masa kecilnya di Indonesia. Lau kita berbangga ketika ia bilang Bakso dan Sate itu enak. Tentang Adolf Hitler yang belakangan diperdebatkan mati di Indonesia. Juga tentang gunung kita yang di masa silam menggemparkan dunia dengan letusannya.

Lantas dimana lagi kita mengais kebanggaan dari negeri kita tercinta ini?Selayaknya itu hadir lewat sepakbola. Olahraga yang difavoritkan milyaran penduduk dunia ini kerap menghadirkan hiburan yang sejenak mengalihkan perhatian kita dari penatnya aktivitas.Aksi olah si kulit bundar dari para bintang lapangan hijau selalu ditunggu. Teriakan-teriakan penuh emosi mendukung klub favorit menjadi kesenangan tersendiri baik saat menonton langsung di stadion maupun lewat layar kaca. Tak heran antusiasme masyarakat Indonesia terhadap sepakbola termasuk cukup tinggi di Asia.

Walaupun sejatinya semua tahu bagaimana kondisi persepakbolaan tanah air. Kompetisi yang kerap diwarnai kericuhan supporter, pemukulan wasit, prestasi tim nasional yang tak kunjung membaik, hingga tingkah polah pengurus PSSI yang duduk nyaman dengan keborokan-keborokannya. Tak ada prestasi yang

Secercah harapan muncul di akhir tahun ini tepatnya dari hingar bingar turnamen AFF. Euforia melanda tanah air menyusul tiga kemenangan tim nasionalnya atas Malaysia (5-1), Laos (6-0) dan Thailand (2-1). Irfan Bachdim, Christian Gonzales, dan Alfred Riedl sontak bak menjadi malaikat penyelamat atas buruknya prestasi tim nasional. Laga-laga merah putih dalam mencapai tiket semifinal kerap ditayangkan ulang di layar kaca. Media-media tanah air pun gencar menyajikan berita-berita terupdate untuk tim nasional.

Penjualan tiket menjelang laga semifinal kontra Filipina Kamis (16/12) mendatang pun meningkat drastis. Ribuan orang rela mengantri berjam-jam di depan stadion Gelora Bung Karno demi bisa menyaksikan langsung aksi Irfan Bachdim cs. Tak peduli berapa kocek yang harus mereka rogoh. Pemandangan yang sangat jarang ditemui di negeri ini.

Lantas ekspektasi yang menggunung itu apakah terlihat berlebihan? Saya pikir itu masih terlihat wajar, karena biasanya kita selalu harap-harap cemas menyaksikan aksi tim nasional. Meski lewat sepakbola, kita cukup berbangga melihat Malaysia di luluhlantakkan dengan berondongan lima gol. Setidaknya cukup mencoreng wajah tim negeri Jiran yang belakangan gemar mengolok-olok negeri kita. Lalu masih ingatkah kita kapan terakhir kali kita menang lebih dari tiga gol atas Laos? Dan tentu kita sudah lupa kapan terakhir kali menang atas tim Gajah Putih Thailand.

Harapan besar itu menandakan kita sudah sangat merindukan bagaimana sumringahnya sebuah kemenangan. Firman Utina cs memang belum sampai pada tahap mengangkat tropi ke udara. Namun biarkan euforia ini terus berlanjut. Selagi bisa. Sembari terus menjaga api harapan akan berlanjutnya pesta. Lalu kita benar-benar punya kebanggaan yang bukan semu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline