"Don, besok kita berangkat ke Tangerang, ya!" kata Cik Gong, dengan nada sedikit panik setelah menutup telepon rumah yang diangkatnya.
"Hah?! Besok?! Kok mendadak banget sih," ujar gue bertanya dengan penuh rasa penasaran, sambil melompat dari atas kasur.
"Aku dapat kabar, kalau Emak tadi jatuh dari kamar dan sekarang dia dirawat di Rumah Sakit, kita harus ke sana." Jelasnya lagi, masih dengan nada sedikit panik.
Selama melanjutkan SMA di Surabaya gue memang tinggal di rumah Om gue, namanya Cik Gong. Sebenarnya, 'Cik' itu artinya adalah Om, entah bahasa dari mana. Sedangkan 'Gong' itu adalah singkatan dari nama Om gue. Bukan, nama Om gue bukan Dugong, tapi Agong. Di rumah ini, gue tinggal bersama Cik Gong, Kakak gue, lalu Mbok Yem, dan Pak Mo. Dua nama terakhir adalah 2 orang pekerja yang sudah membantu di rumah Om gue selama puluhan tahun. Bisa dibilang mereka adalah pekerja rumah tangga paling senior di komplek rumah. Semua orang di komplek rumah, kenal sama mereka berdua. Bahkan, mereka selalu masuk nominasi di komplek rumah, sebagai pembantu ter-lebih eksis dari majikan.
Dulu nenek gue atau sering dipanggil, Emak, tinggal di rumah Surabaya, sebelum akhirnya beberapa tahun terakhir dia diajak untuk tinggal di Karawaci, Tangerang bersama Cik Lam, adik kandung dari Cik Gong. Nama Cik Lam sendiri diambil berasalkan dari namanya, Alam.
Selain bersama Cik Gong, gue juga tinggal bersama Kakak gue, namanya Surya. Gue sama dia memiliki jarak usia beda 10 tahun. Secara tinggi badan, kita memang hampir sama, namun secara bentuk wajah kita jauh berbeda. Gue nurun dari Papa yang berwajah Tionghoa (baca: kalo bilang Cina, nanti katanya rasis) dan kakak gue nurun dari Mama yang Jawa tulen. Meskipun dia kakak kandung gue, tapi terkadang gue masih suka kesal sama dia. Gue masih ingat, dulu waktu SD saat pembagian rapot, gue pernah menjadi pusat perhatian sama anak-anak cewek sekelas. Apa karena gue lagi pamer keahlian, boker sambil kayang? Bukan, melainkan saat itu, gue ditemani oleh kakak buat ambil rapot, dan banyak yang bilang, "Dono, kakakmu kok ganteng sih? Kamu sering-sering aja bikin masalah di sekolah, biar kakakmu sering dipanggil ke sekolah juga. Hehehe..."
Setelah lulus SMA, kakak gue sempat kuliah di STIKOM Denpasar, Bali. Namun, karena ada berbagai alasan akhirnya kuliahnya tidak diselesaikan sampai tuntas. Setelah itu, dia juga sempat bekerja sekitar 3 tahun di Factory Outlet dari brand terkenal, Quick Silver. Belakangan, dia memang belum kembali bekerja alias nganggur, setelah beberapa bulan lalu dia baru pulang dari Australia. Bukan, dia bukan bekerja sebagai pengasuh bayi Kangguru di Australia kok, melainkan ia bekerja sebagai pencuci piring di kapal pesiar. Kata kakak gue, pekerjaan mencuci piring di Australia lebih dihargai dan dibayar mahal, sangat berbeda jauh dengan di Indonesia.
Kalau dipikir-pikir, seharusnya bayaran pencuci piring di Indonesia bisa lebih mahal daripada di luar negeri. Kenapa? Pertama, karena di Indonesia orang cuci piring secara manual, tidak menggunakan mesin seperti di luar negeri. Kedua, karena masakan orang Indonesia itu terkenal dengan makanan penuh lemak dan minyak. Contohnya rumah makan Padang, hampir semua makanannya itu penuh dengan lemak dan minyak menempel di piring, bukan? Tapi sangat disayangkan, bayaran pekerja pencuci piring di Indonesia masih sangat minim sekali. Padahal, gak bisa dibayangin, kalau para pencuci piring di seluruh rumah makan Padang ini mendadak mogok kerja karena gajinya kecil. Gue gak habis pikir, kalau bukan mereka yang cuci piring, terus siapa lagi? Gak mungkin kan, pembeli habis makan terus cuci piring sendiri? Lalu, gak mungkin juga kan, kalau misalkan kita makan, tapi gak pakai piring, alias makanannya langsung disebar di atas meja? Atau lebih seram lagi, ketika semua perlengkapan dapur bisa hidup, kayak di film Beauty and The Beast dan bilang, "Gosok aku dong, Mama Lemon! Sudah lama, gak pernah digosok niihh!"
Setelah keesokan harinya, gue, kakak gue, dan Cik Gong pun bersiap untuk berangkat ke Tangerang. Dengan alasan tidak mau repot, gue pun membawa pakaian seadanya saja. Rencananya kita akan berangkat pukul 7 malam dari Bandara Juanda, Surabaya. Menjelang persiapan keberangkatan, perasaan gue mendadak gak menentu. Di satu sisi, gue merasa senang, karena akhirnya bisa naik pesawat untuk pertama kalinya. Namun, di satu sisi, gue gak bisa menyembunyikan ketakutan gue, akan resiko yang akan terjadi nantinya. Gue gak bisa membayangkan, kalau pesawat yang gue tumpangi nanti akan terjatuh dengan berbagai alasan, seperti; terkena hujan badai, lalu tersambar petir, atau bahkan, tiba-tiba nabrak Superman yang lagi asyik ngupil di atas awan.
Tepat pukul 6 malam lewat 21 menit, kami pun tiba di Bandara Juanda, Surabaya. Amazing! Itulah yang pertama kali terlintas di benak gue, saat menginjakkan kaki di salah satu bandara Internasional ini. Entah, karena baru pertama kali ke Bandara atau memang karena bandara ini memang keren, sehingga membuat gue berdecak kagum. Apalagi, ditambah dengan ruang tunggu bandara yang begitu lapang dan luas. Saking noraknya, gue sampai balapan pake trolley sama pengunjung Bandara lainnya.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Kami pun langsung berjalan menuju ke sebuah lorong. Nampak dari jauh, pramugari cantik dengan pakaian bermotif batik menyambut kami di dekat pintu masuk pesawat. Sempat bingung karena baru pertama kali naik pesawat, gue pun masuk ke dalam dengan penuh rasa sotoy. Terbiasa naik metro mini, ketika ada di dalam pesawat, gue hampir saja berteriak, "BANG, JANGAN NGETEM LAMA-LAMA, YAK!"