Saat ini, kita masih menyaksikan berbagai tindakan konflik dan kekerasan yang melanda Indonesia. Mulai dari kasus tawuran antar pelajar, bentrok warga sipil, gank motor, konflik agraria, dan kekerasan atas nama agama. Beberapa waktu lalu, terkait kekerasan atas nama agama, teror bom kembali “menghantui” Indonesia. Kali ini yang menjadi target sasaran adalah Vihara Ekayana yang beralamat di Jalan Mangga II/8, RT 8/08, Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Menurut data Wahid Institute (2012), jumlah peristiwa kekerasan atas nama agama memang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, peristiwa kekerasan atas nama agama berjumlah 121 kasus, tahun 2010 berjumlah 184 kasus, tahun 2011 berjumlah 267 kasus, dan tahun 2012 berjumlah 278 kasus.
Dari semakin maraknya konflik dan kekerasan yang terjadi, tidak mengherankan bila Indonesia masuk dalam kategori very high warning dengan menempati peringkat ke-63 dari 177 negara dalam indeks negara gagal (failed state index) yang dirilis oleh The Fund for Peace (2012). Ada 12 indikator untuk mengukur indeks negara gagal. Beberapa diantaranya adalah masalah hak asasi manusia (human rights), penganiayaan agama (religion persecution), kekerasan agama (religious violence), kekerasan suku (ethnic violence), dan diskriminasi (discrimination). Berbeda dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan Vietnam, yang masing-masing menempati posisi lebih baik yaitu 111, 157 ,124, 96.
Tidak hanya di Indonesia, tindakan konflik dan kekerasan juga terjadi di belahan dunia lain, seperti kasus Rohingya, Israel-Palestina, dan konflik internal negara seperti di Suriah, Mesir, serta Pakistan yang tak kunjung usai hingga hari ini.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Institute for Economics and Peace (2013), terkait masalah Global Peace Index (GPI) dan Terrorism Index (TI), fakta menunjukan bahwa tingkat perdamaian paling rendah dan tingginya tingkat terorisme justru dihuni oleh negara-negara yang bermayoritas Muslim. Menurut data GPI (2013), 6 peringkat terbawah dalam hal negara paling tidak damai (the least peaceful country) ditempati oleh Pakistan (157), Sudan (158), Iraq (159), Suriah (160), dan Afghanistan (162). Dari 162 negara yang diteliti, hanya 4 negara Muslim yang masuk dalam kategori negara paling damai (the very peaceful country). Pencapaian yang tertinggi didapat oleh Qatar (19), Malaysia (29), Uni Emirat Arab (36), dan Kuwait (37). Dalam laporan tersebut, Indonesia sendiri menempati posisi 54 dengan skor 1.879. Sedangkan, negara paling damai ditempati oleh Islandia dengan skor 1.162. Perlu diketahui, semakin kecil peringkat suatu negara, berarti tingkat perdamaian di negara tersebut semakin baik, begitu juga sebaliknya.
Dalam masalah terorisme, TI (2013) merilis bahwa lima besar negara dengan tingkat aktivitas terorisme tertinggi dihuni oleh Iraq (1), Pakistan (2), Afghanistan (3), dan Yaman (5). Indonesia sendiri masuk dalam 30 besar tingkat aktivitas terorisme, yakni berada pada posisi 28 dengan skor 4.51. Berbeda dengan GPI, dalam hal aktivitas terorisme, TI mengukur semakin tinggi peringkat suatu negara, berarti tingkat terorisme di negara tersebut semakin tinggi. Berdasarkan beberapa penelitian di atas, menarik jika kita ajukan beberapa pertanyaan: Mengapa konflik, kekerasan, dan terorisme sangat identik dengan negara-negara Muslim? Apa yang salah dengan negara-negara Muslim? Apakah Islam mengajarkan kekerasan? Apakah Islam mengajarkan kebencian?
Dalam hal ini, penulis tidak hendak menggeneralisir berbagai masalah konflik, kekerasan dan terorisme dengan negara yang bermayoritas Muslim. Tapi, berdasarkan fakta dari beberapa penelitian, negara-negara yang bermayoritas Muslim memang selalu ‘berbuat ulah’ dengan masalah-masalah tersebut. Di Indonesia misalnya, dalam kasus Ahmadiyah atau Syiah, hanya karena perbedaan tafsir saja, sampai berujung pada kekerasan dan pembunuhan satu sama lain.
Dari pelbagai masalah di atas, sudah saatnya kita harus mengakhiri segala macam bentuk konflik dan kekerasan yang ada di dunia, termasuk di Indonesia. Ada banyak upaya yang bisa kita lakukan, salah satunya, belajar dari apa yang pernah ditelandankan oleh Gus Dur.
Kekerasan atau Perdamaian?
Gus Dur ibarat buku yang tak pernah selesai dibaca, banyak sekali inspirasi-inspirasi yang bisa kita gali dari perjalanan hidupnya. Seperti Muhammad, Yesus, Socrates, Luther, Gandhi, Ibn Rusyd, Ibn Arabi, Copernicus, Galileo, Newton dan lainnya, Gus Dur adalah seorang pemikir besar yang melampaui zamannya. Tidak heran jika pikiran-pikirannya banyak disalapahmi oleh banyak orang. Banyak orang yang tidak sadar bahwa pikiran-pikirannya yang melampaui zamannya itu, masih relevan hingga kini dan bisa menjadi solusi dari pelbagai macam persoalan.
Salah satu dari buah pikirannya adalah tentang perdamaian dunia dan sikap saling menghormati antar bangsa, agama, dan sesama manusia. Ini adalah buah pemikiran yang sangat universal. Pemikiran seperti ini hanya bisa didapatkan, jika kita sudah bisa melepas sekat-sekat identitas yang ada dalam diri kita, baik itu sekat agama, suku, ras, warna kulit, bangsa dan lainnya. Gus Dur berhasil melepas semua sekat identitas tersebut. Ia memang manusia tanpa sekat. Bagi Gus Dur, semua manusia adalah sama, tak peduli dari mana asal usulnya. Dengan pemikiran inilah, Gus Dur banyak mengabdikan hidupnya untuk manusia dan kemanusiaan. Seperti yang dijelaskan Muhammad (2012), Gus Dur tak pernah lelah untuk memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Gus Dur pasti sudah paham betul makna dari (QS 4:48), (QS 4: 152), (QS 5:2), (QS 21:107), (QS 49:10), dan (QS 49:13). Itulah sebabnya mengapa ia sangat mengedepankan toleransi, kemanusiaan, tolong menolong, persaudaraan, dan perdamaian. Sebagaimana Gandhi dengan ajaran Ahimsa, Gus Dur juga sangat membenci kekerasan dan peperangan. Hal ini bisa dilihat dari kumpulan tulisannya yang dibukukan dengan judul Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Dalam beberapa tulisannya di buku tersebut, Gus Dur ingin sekali menjelaskan bahwa hakikat Islam sesungguhnya adalah agama perdamaian (rahmatan lil’ alamin), bukan agama kekerasan.Seperti dalam salah satu tulisannya yang berjudul Bersumber Dari Pendangkalan, Gus Dur menulis:
“Harus kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang panjang, kaum muslimin tidak menggunakan kekerasan dan terorisme untuk memaksakan kehendak. Lalu bagaimanakah cara kaum muslimin dapat mengadakan koreksi terhadap langkah-langkah yang salah, atau melakukan “responsi yang benar” atas tantangan berat yang dihadapi? Jawabannya, yaitu dengan mengadakan penafsiran baru (reinterpretasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslimin melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat sebelumnya, maupun memberikan responsi yang memadai atas tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah “agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan.”
Oleh karena itu, penulis yakin, jika Gus Dur masih hidup, ia pasti akan sedih melihat kondisi umat Muslim saat ini. Apalagi ketika banyak penelitian yang menyebutkan bahwa negara-negara yang bermayoritas Muslim justru menjadi pembuat masalah (trouble maker) dalam pelbagai kasus kekerasan dan terorisme. Hal ini tentu berlawanan dengan semangat agama Islam itu sendiri yang mengedepankan kemanusiaan dan perdamaian. Menurut Gus Dur, umat Muslim hanya boleh melakukan tindak kekerasan jika orang Islam diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim). Selain atas dasar tersebut, umat Muslim tidak diperkenankan menggunakan kekerasan terhadap siapapun. Selain itu, Gus Dur pasti juga akan sedih ketika melihat banyak umat Muslim yang lebih banyak membangun tembok, daripada membangun jembatan, yaitu lebih banyak membangun pembatas/sekat daripada membangun penghubung satu sama lain. Itulah fakta yang terjadi dewasa ini.
Dialog dan Kerjasama
Gus Dur sadar bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Menurutnya, solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik dan kekerasan adalah melalui jalan toleransi dan perdamaian. Ada beberapa bentuk toleransi dan perdamaian yang bisa dilakukan. Seperti yang tertuang dalam buku Dialog Peradaban antara Gus Dur dan Daisaku Ikeda (Presiden Soka Gakkai). Gus Dur mengemukakan beberapa pendapat dalam upaya mewujudkan toleransi dan perdamaian dunia. Pertama, pendidikan yang baik di masyarakat. Menurut Gus Dur, pendidikan yang baik merupakan tiang masyarakat dan harapan dunia untuk yang lebih baik. Pendidikan yang baik (pemahaman akan nilai) dapat membentuk manusia yang berkualitas dan berpikiran terbuka. Keterbukaan pikiran inilah yang menjadi kunci utama dalam sebuah kehidupan keberagaman. Kedua, generasi muda antar negara harus memiliki hubungan persahabatan dan kekerabatan. Gus Dur sangat berharap kepada generasi muda di seluruh dunia agar tidak hanya memikirkan kepentingan dirinya saja, tapi mereka juga harus berkontribusi untuk kepentingan masyarakat agar bisa hidup berdampingan secara damai satu sama lain. Ketiga, diperlukan kerjasama seluruh umat manusia di berbagai bidang, tanpa memandang sekat-sekat perbedan. Dalam hal ini, kita harus bisa menghargai perbedaan dan keanekaragaman yang sudah menjadi fakta sosial. Ketika kita sudah mempunyai sikap saling menghormati satu sama lain, perdamaian akan terwujud dengan sendirinya. Keempat, harus dilakukan dialog secara terus menerus antar pemeluk agama, bangsa, dan sesama manusia. Hanya dengan jalan dialog, kita bisa memahami dan belajar satu sama lain serta mencari titik temu/persamaan dari pelbagai perbedaan. Pada akhirnya, dari dialog tersebut, kita akan bisa merumuskan cita-cita bersama yang ingin ditegakan dalam pergaulan nasional maupun internasional, seperti mewujudkan perdamaian, menghormati hak-hak manusia, memberantas kemiskinan, kelaparan, dan seterusnya. Kelima, kalangan agamawan dan tokoh-tokoh di setiap negara harus bisa berperan aktif dalam perdamaian dunia. Mereka harus bisa memberikan contoh yang baik kepada masyarakat, baik lisan maupun tindakan. Coba kita bayangkan, jika seluruh pemimpin negara, agama, dan tokoh masyarakat sama-sama meletakan mahkotanya dan saling berjabat tangan untuk satu tujuan: menghentikan perang, lupakan perbedaan, kepentingan, dan dendam satu sama lain, demi terwujudnya satu cita-cita bersama: perdamaian dunia. Bukankah itu sesuatu yang luar biasa?
Dari kelima poin di atas, dapat disimpulkan bahwa perdamaian dunia hanya akan terwujud bila adanya sikap saling menghormati, dialog dan kerjasama secara terus menerus antar semua pihak, tanpa membedakan perbedaan agama, suku, budaya, dan lainnya. Mulai detik ini, kita harus bisa seperti Gus Dur yang merobohkan tembok-tembok perbedaan dan merangkul semua golongan dengan membawa obor perdamaian. Gus Dur sudah mewariskan dan meneladankan. Bagaimana dengan KITA? Wallahualam bi shawab.
*) Donny WS, Mahasiswa S-1 Akuntansi Unversitas Al-Azhar Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H