"Pemilik rumah tak akan berunding dengan maling dirumahnya". Beberapa kalimat yang terucap dari Tan Malaka "Bapak Republik" yang dilupakan. Ucapakan yang masih menjadi realita dalam perkembangan Nusantara kita. Bagaimana tidak, hal yang paling dihindari dikala zaman Tan Malaka dan para pejuang lainnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara utuh dari penjajah tanpa ada kekurangan (dengan jalan tanpa perundingan yang merugikan) itu diulangi dan dilanjutkan oleh generasi saat ini. Banyak kekayaan sumber daya alam yang dimiliki negeri ini tetapi rakyat masih berada pada garis kemiskinan, ironisnya hasil kekayaan alam keuntungannya dinikmati oleh bangsa asing.
Bermula pada awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi. Namun dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967). Hal itu dimanfaatkan perusahaan asing salah satunya adalah PT. Freeport.
Perusahaan yang bergerak pada bidang pertambangan tersebut datang dengan karena melihat peluang meneruskan proyek Ersberg atau gunung bijih hasil dari penemuan dari Jean Jacques Dozy pada tahun 1936 di Tanah Papua. Mulai beroperasi dari April 1967 sampai sekarang, hampir 50 tahun lamanya PT. Freeport Indonesia mengeruk tanah Papua yang mengandung emas, tembaga serta perak untuk menambah pundi-pundi bagi mereka. Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, keuntungan yang didapatkan PT. Freeport Indonesia dari hasil tambangnya di Papua mencapai 4000 trilyun, hal ini dihitung dari hasil laporan cadangan mineral PT. Freeport Indonesia di tahun 2010. sangat tidak relevan ketika yang punya tanah hanya mendapatkan keuntungan kurang dari 10% dari hasil keuntungan utama. Alih-alih pembagian hasil untuk Negara, kesejahteraan rakyat Papua kurang diperhatikan juga. Sangat Ironis sekali melihat Tuan tanah menjadi kuli ditanahnya sendiri.
Pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa " Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk rakyat" . Dari sini sangat jelas bahwasanya semua kekayaan hanya untuk rakyat Indonesia. Banyak pertanyaan dibenak saya sebagai seorang rakyat Indonesia. Apakah rakyat Indonesia tidak mampu untuk mengambil alih sumber daya alam yang sudah sepantasnya milik bangsa ini? Dengan perkembangan zaman yang semakin modern sebenarnya SDM Indonesia sudahlah teramat banyak untuk bisa diandalkan. Namun kurangnya kepercayaan kepada mereka sebagai penerus bangsa serta kurang tegasnya pemerintah untuk memberanikan diri meenasionalisasikan perusahaan tersebut membuat semakin menambah daftar pilu sejarah kelam bangsa ini. Sebagai bangsa yang besar sudah saatnya kita menentukan sikap apakah kita harus BERGERAK demi kesejahteraan anak cucu kita nanti atau TERGANTIKAN oleh bangsa asing yang menggerogoti kekayaan alam raya di negeri laksana surga ini.
Sudah saatnya kita sebagai bangsa Indonesia menikmati keuntungan yang berada di tanah air kita. Dan rakyat akan merasakan kemerdekaan yang hakiki ketika kembali ke Pasal 33 UUD 1945.
Hidup Rakyat Indonesia
ttd
Mahasiswa Semester Delapan
Donny Surya Pradha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H