Perspektif Deterrence pada Uji Coba Rudal Dengan Hulu Nuklir Korea Utara di Semenanjung Korea
Ketegangan di Semenanjung Korea yang semakin meningkat akibat perlombaan senjata dan uji coba rudal Korea Utara telah menjadi fokus perhatian internasional. Perkembangan terbaru di wilayah ini menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya perang nuklir, tidak hanya di Asia Timur tetapi juga di seluruh dunia. Uji coba rudal yang dilakukan Korea Utara, khususnya dengan hulu ledak nuklir, dipandang oleh banyak pihak sebagai ancaman serius terhadap stabilitas global. Namun, dari perspektif Korea Utara, tindakan tersebut dapat dilihat sebagai langkah Deterrence —usaha pencegahan yang ditujukan untuk melindungi kedaulatan negara dari ancaman invasi atau serangan militer oleh negara lain, terutama dari Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan tersebut, yaitu Korea Selatan dan Jepang.
Latar Belakang Ketegangan di Semenanjung Korea
Sejarah ketegangan di Semenanjung Korea dapat dilacak kembali ke Perang Korea yang terjadi antara 1950 hingga 1953, yang berakhir tanpa perjanjian damai resmi, melainkan hanya sebuah gencatan senjata[1]. Ini berarti, secara teknis, kedua Korea masih berada dalam keadaan perang hingga hari ini. Meskipun terdapat upaya diplomasi dan dialog antar-Korea pada berbagai kesempatan, ketegangan tetap tinggi, terutama karena perbedaan ideologis dan politik yang mendasar. Korea Utara, yang secara resmi dikenal sebagai Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK), adalah negara komunis di bawah kepemimpinan dinasti Kim, sementara Korea Selatan (Republik Korea) adalah negara demokrasi yang memiliki hubungan erat dengan Amerika Serikat.
Semenjak akhir Perang Korea, situasi keamanan di Semenanjung Korea sangat dipengaruhi oleh hubungan antara kedua Korea serta intervensi kekuatan besar lainnya seperti Amerika Serikat, China, dan Jepang. Korea Utara merasa terancam oleh kehadiran pasukan Amerika Serikat di Korea Selatan dan aliansi pertahanan trilateral antara AS, Korea Selatan, dan Jepang. Dalam hal ini, pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara muncul sebagai respons terhadap ancaman eksternal, yang mereka yakini dapat mengancam kelangsungan rezim mereka.
Persaingan Senjata di Semenanjung Korea dan Dinamika Regional
Perlombaan senjata di Semenanjung Korea merupakan bagian dari dinamika yang lebih luas di kawasan Asia Timur[2]. Selain konflik antar-Korea, terdapat pula ketegangan antara negara-negara seperti Jepang dan China, serta rivalitas antara Amerika Serikat dan China yang berdampak pada keamanan kawasan. Dengan adanya situasi geopolitik yang kompleks ini, pengembangan kapabilitas nuklir dan rudal balistik Korea Utara menjadi salah satu faktor yang memicu kekhawatiran banyak pihak, baik di dalam maupun di luar kawasan.
Korea Utara telah melakukan serangkaian uji coba rudal dan perangkat nuklir sejak awal 2000-an, yang puncaknya terjadi pada 2017 ketika mereka mengklaim berhasil menguji bom hidrogen. Rudal balistik antar-benua (ICBM) yang diuji Korea Utara disebut-sebut memiliki kemampuan untuk mencapai daratan Amerika Serikat, sebuah pernyataan yang jelas memperlihatkan niat mereka untuk menciptakan Deterrence yang efektif terhadap potensi intervensi militer Amerika. Uji coba tersebut segera memicu reaksi keras dari Amerika Serikat, yang kemudian meningkatkan tekanan melalui sanksi ekonomi dan militer, bekerja sama dengan sekutunya, Korea Selatan dan Jepang.
Namun, perlu dicatat bahwa Korea Utara secara konsisten menyatakan bahwa tujuan pengembangan senjata nuklir mereka adalah untuk Deterrence, bukan agresi. Bagi rezim Kim, ancaman dari Amerika Serikat sangat nyata, mengingat sejarah panjang intervensi militer Amerika di berbagai negara, termasuk di Asia. Dari perspektif Korea Utara, memiliki senjata nuklir adalah satu-satunya cara untuk menghalangi potensi invasi atau upaya menggulingkan rezim melalui kekuatan militer eksternal.