Beberapa waktu belakangan ini, nama Ibn Taimiyah kerap kali muncul dalam berbagai pembahasan dalam tulisan maupun diskusi terbuka. Namun dalam konteks tersebut, Ibn Taimiyah lebih dikenal sebagai pemikir dengan basis wacana teologis. Tulisan ini tidak bermaksud mengerdilkan pemikiran atau ajaran pihak mana pun, tulisan ini murni dibuat untuk menggali pemikiran Ibn Taimiyah, tapi bukan dari sisi teologis melainkan soal pemikiran politik Islam. Penulis berharap agar tulisan ini dapat menambah wawasan atau sudut pandang baru mengenai pemikiran politik dalam tradisi Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Mona Hassan bahwa merebaknya wacana tentang terorisme yang dikaitkan dengan Islam, hal itu sejalan dengan tertariknya banyak pihak untuk kemudian menggali sendiri dan mempelajari gagasan politik tokoh Islam, salah satunya Ibn Taimiyah.
Lahir dengan nama Taqiyuddin Ahmad bin Syihabudin Abdul Halim bin Ali bin Taimiyah al-Harrani, seorang Ibn Taimiyah lahir di kota Harran pada 661 H. Ayahnya merupakan seorang ulama bermazhab Hambali. Secara singkat, bisa dikatakan bahwa Ibn Taimiyah tumbuh di lingkungan keluarga yang berpendidikan. Selanjutnya sebagai pijakan awal, penting rasanya untuk diketahui bahwa Ibn Taimiyah memiliki pendekatan pemahaman Islam yang tanpa kompromi menolak otoritas selain Al-Qur'an dan Sunah. Hal tersebut yang membuat Ibn Taimiyah percaya bahwa negara yang dibangun dengan landasan prinsip-prinsip Islam yang benar dapat menjadi alat untuk mewujudkan keadilan sosial. Ibn Taimiyah diketahui sangat geram terhadap ulama yang terlibat korupsi dalam pusaran kekuasaan pemerintahan yang tidak adil.
Atas dasar itu, agaknya kita bisa menerka bahwa idealnya Ibn Taimiyah mengilhami campur tangan agama (Islam) dalam urusan politik negara. Namun realitanya yang terjadi adalah Ibn Taimiyah justru menginisiasi gagasan sekularisasi politik dengan menolak campur tangan agama dalam urusan politik. Bisa kita katakan bahwa Ibn Taimiyah menghendaki adanya pluralisme dalam kehidupan di dunia Islam. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana kemudian negara yang dibangun dengan landasan prinsip-prinsip Islam yang benar, dapat dijalankan dengan gagasan sekularisasi dengan menolak campur tangan agama dalam urusan politik? Mari kita uraikan bersama bagaimana konsep sekularisasi politik Ibn Taimiyah dan apa yang jadi tujuan Ibn Taimiyah dengan gagasan tersebut.
Konsep Sekularisasi Politik Ibn Taimiyah
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai gagasan sekularisasi politik yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah, ada baiknya kita runtutkan pembahasan dengan memahami apa itu sekularisasi. Menurut Jose Casanova teori sekularisasi setidaknya memiliki tiga arti yang berbeda. Pertama, sekularisasi yang mengacu kepada penurunan kepercayaan dan praktik keagamaan. Kedua, sekularisasi dapat diartikan sebagai privatisasi agama, yaitu kondisi dimana agama dianggap sebagai urusan pribadi yang tidak terlalu berpengaruh dalam ranah publik. Ketiga, sekularisasi juga dapat ditafsirkan sebagai pemisahan agama dari domain sekuler seperti negara. Arti ketiga yang dikemukakan Casanova terasa lebih relevan untuk era dimana agama semakin berkembang. Karena dalam definisi tersebut, sekularisasi tidak mengecilkan atau bahkan menghilangkan kepercayaan terhadap agama. Kiranya teori sekularisasi dari Casanova tersebut bisa dijadikan pintu pertama untuk kemudian masuk kepada jejak sekularisasi politik Ibn Taimiyah.
Berikut adalah konsep sekularisasi politik Ibn Taimiyah:
1. Negara bukan urusan keimanan
Argumen Ibn Taimiyah ini sejatinya merupakan kritik tajam terhadap doktrin Syi'ah. Doktrin tersebut mengemukakan bahwa, penegakkan imamah adalah sebuah kewajiban masyarakat muslim. Syi'ah juga meyakini bahwa imamah adalah salah satu bagian dari rukun iman. Ibn Taimiyah tidak sepakat dengan doktrin tersebut dan mengajukan argumen tantangan. Pertama, keberadaan negara itu memang penting tapi tidak lantas membuat hal tersebut menjadi bagian inti dari keimanan. Sepenting apa pun imamah, tanpanya keimanan seseorang juga tidak lantas menjadi tidak sempurna. Kedua, Ibn Taimiyah juga meyakini bahwa iman kepada Allah dan Rasul itu jauh lebih penting daripada imamah. Kapan pun dan dimana pun, keimanan seseorang adalah diukur atas dasar berimannya dia kepada Allah dan Rasul, bukan kepada imamah. Ketiga, tidak pernah ada penjelasan tentang imamah dalam Al-Qur'an dan sunnah.
2. Muhammad itu Nabi (dan) bukan imam
Dalam argumen ini, Ibn Taimiyah dianggap cukup kontroversial. Kecenderungannya adalah mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang nabi utusan Allah dan bukan sebagai pemimpin politik. Hal itu didasari atas pemahamannya bahwa imamah muncul pasca wafatnya nabi. Lebih lanjut Ibn Taimiyah menegaskan bahwa Nabi berbeda dengan imam. Nabi atau Rasul harus dipatuhi dengan alasan patuh terhadap utusan Allah. Nabi Muhammad sebagai nabi pun harus dipatuhi sepanjang masa, sedangkan imam atau raja hanya dipatuhi ketika ia berkuasa karena tidak memperoleh keistimewaan khusus seperti nabi.
3. Syariah adalah urusan ummah, bukan imamah