Lihat ke Halaman Asli

Diskusi Utopia, Diskusi Ideal

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kenapa Kolom Agama di Kompasiana tidak boleh hilang

Pertama-tama saya ingatkan bahwa tulisan ini hanya ditujukan untuk mereka yang berpandangan lebar. Kalau panas keluar dulu. Ini ditulis bukan sebagai arogansi pendapat, tetapi sebagai opini, sudut pandang saya sendiri.

Ada buku keagamaan yang diterbitkan ternyata isinya menyesatkan dan banyak mencela agama lain sehingga perlu diluruskan oleh pihak sendiri maupun oleh pihak lain. Pihak yang agamanya dicela tentunya tidak suka. Dahulu pihak ini bingung untuk mempergunakan hak jawabnya. Yang sanggup menjawabnya belum tentu mampu menerbitkan buku jawaban, yang sanggup menerbitkan belum tentu dapat menjawab. Kendala lain misalnya untuk menerbitkan sebuah buku memerlukan biaya yang tidak sedikit, izin penerbitan, screening yang kadang-kadang berat sebelah, belum lagi distribusinya. Kasus majalah monitor bertahun lalu tentu masih bisa diingat.

Dahulu kala ketika internet belum dikenal di Indonesia, jika kita ingin melihat dunia maya, kita harus telepon interlokal ke Hongkong agar tersambung dengan dunia maya (sekitar 1993an (?)), kemudian muncullah ISP-ISP lokal yang segera menjamur dengan cepatnya, ini mempermudah akses internet. Dengan Internet yang semakin mudah dan murah ini, khsususnya di bidang keagamaan, berdiri blog-blog yang menyuarakan kebenaran Agama masing-masing. Dalam blog keagamaan seperti ini, suara pembuat adalah suara Tuhan. Pengkritik dapat dibungkam seketika. Arena diskusi menjadi berat sebelah. Bahkan banyak blog yang menyebarkan kebenaran sepihak tanpa mengijinkan pihak lain untuk bertanya, berdiskusi atau memverifikasi. Jadi masalah kebenaran sepihak masih ada.

Kemudian muncul Kompasiana yang mengijinkan sumbangsih dari dan bagi pencinta bacaan dan pencinta tulisan untuk ikut menyuarakan isi hatinya dalam segala hal, termasuk juga bidang keagamaan. Kehebatan forum agama di Kompasiana adalah siapapun bisa menuliskan keyakinannya di sini dan siapapun dapat mendebatnya atau mendukungnya. Tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, seperti Admin dapat menghapus sebuah tulisan keagamaan yang sangat tidak bermutu. Filter dan Quality Control juga aktif dilakukan anggota. Baru-baru ini Admin meminta agar para anggota kompasian melalukan verifikasi keanggotaan dengan mengirimkan fotocopy digital ID anggota. Sebuah langkah bagus. Hanya saja dalam forum yang sensitif seperti agama, ini menurut saya bisa menjadi berbahaya. Dimulailah era keseimbangan dalam menyuarakan kebenaran .

Di forum keagamaan dunia maya, sebuah tempat yang baik untuk mengeluarkan isi hati dapat dipenuhi. Selain penulis dapat menuangkan pesan untuk dibaca, dukungan dan debatan dari pihak lain dapat dibaca oleh semua orang. Akibat keseimbangan ini bisa saja terjadi dari pihak pendebat akan muncul orang yang setuju akan kebenaran isi tulisan dan begitu juga sebaliknya dari pihak penulis dapat saja mengakui (biarpun dalam hati) kebenaran akan sanggahan dari pendebat. Bagusnya sekalipun ke dua belah pihak sama-sama ngotot tidak mau mengalah, karena dibaca secara universal, maka hasil dari diskusi ini bisa menimbulkan kesadaran baru,pemikiran baru, maupun wawasan dan wacana baru bagi pihak ke tiga, bagi orang lain.

Bagaimana kita akan mempertanyakan SKB3 menteri?Jalan ke Senayan banyak yang tidak tahu jalur, kekuatan politik tidak ada, ada yang ogah,ada yang malas, ada yang menyerah duluan. Nah di forum seperti ini, mudah-mudahan, suara kita bisa di dengar. Orang yang tidak diberi kesempatan bersuara menentang Gencarnya Propaganda Teologi Pluralis (Kajian Utan Kayu, Jawa Pos) dapat memanfaatkan forum ini untuk menjawab, Ahmadiyah dapat bersuara di sini menyuarakan keberatannya, begitu juga dengan yang lainnya. Perang boleh terjadi di sini, pedang kata-kata boleh dipergunakan dengan bebas di sini.

Nah yang ditakutkan oleh beberapa pihak adalah, karena agama sangat sensirif, -padahal selain agama ada Suku, Ras (SARA), yang juga super sensitif-, adalah timbulnya kerusuhan. Tetapi apalagi yang mau dilakukan? Jika mau kita bertumbuh lebih dewasa, hadapilah. Bukankah obat terbaik bagi perdamaian adalah membicarakan hal sensitif? Soal terjadi anarki, sebaiknya hukum di dunia nyata berlaku tegas, jangan seperti sekarang ini. Ketertiban hanya bisa terjadi dimanapun jika aturan berlaku tegas. Di sinilah verifikasi anggota dengan foto dan ID yang sebenarnya bisa menjadi berbahaya. (Inipun masih bisa dipertanyakan-belum lagi seperti Gayus,memalsukan identitas). Orang bisa langsung mengenal siapa anda tanpa anda mengetahui siapa dia. Anda dapat paham-kan kenapa superhero perlu topeng?

Bukan hanya berdebat, wawasan kita juga bisa bertambah. Bukankah dengan beradu argumentasi kepercayaan, agama kita dapat di uji? Emasjika melalui tanur akan bertambah murni kadarnya. Banyak kepercayaan, dalam satu agamapun, bisa dipertanyakan oelh anggotanya.

Hanya saja, perlu diperhatikan, sebagai daerah sensitif, forum agama memang bukan buat yang (mentalnya) anak-anak, bukanbuat yang pengetahuannnya dapat dari Co-Pas, bukan untuk mereka yang menganggap kentut kyainya sebagi hadist. Sekali anda menyuarakan kebenaran agama anda di sini, anda harus siap untuk menerima pertanyaan dan sanggahan dari pihak lain. Jawablah dengan pengetahuan bukan dengan caci maki, bukan juga dengan jawaban berputar-putar. Kalau anda memang tidak siap untuk berlaga atau memahamibetapa ceteknya ilmu pengetahuan agama anda, mundur dan diamlah, dengar dan baca. Lebih baik diam dan kelihatan bego daripada ngomong dan begonya keluar, sebab yang baca bukan hanya ‘lawan’ anda tetapi seluruh dunia.

Mudah-mudahan hasil dari diskusi adalah pemahaman, pemahaman akan pandangan pihak lain. Anda tidak perlu setuju dengan agama orang lain tetapi pemahaman akan pandangan agama lain akan menambah sejuk iman kita.

Tetapi bukankah apa yang ditulis di atas, prinsip dasarnya berlaku juga untuk forum lainnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline