berjuta tatap mata tak mampu menghindarimu
kumbang mana yang tak ingin datang mengitari
gemulai hijau daunmu melambai tertiup bayu
ada sekeping hati memujamu tanpa kau sadari
gambar usang tentangmu kini kurangkai kembali
membentang kisah indah sepanjang garis memori
kau bagai hamparan mimpi yang berwujud nyata
kau ciptakan nuansa biru bersama angan merona
bila mungkin kau tengah menepi di bibir pantai sendiri
ijinkanlah aku sejenak menatapmu sebelum aku pergi
kau seperti alur cerita diatas panggung drama melankoli
kau adalah selaksa puisi yang tersimpan dalam antologi
aku bertanya pada pucuk ilalang di tengah belantara
mengapa aku risau bila terpisah walau tuk sementara
puing-puing waktu yang berserakan di sepanjang jalan
bagai untaian nada lagu yang dulu pernah kita nyanyikan
mengapa Tuhan selalu mengingatkanku tentang mu
apakah Dia tahu bahwa kutakut kehilangan masa lalu
kau seperti suara biduan yang mengalun syahdu
mengalir lembut di segenap penjuru urat nadiku
kupandangi potretmu dalam bingkai jiwa yang bening
bersama rasa pedih ketika daun mulai menguning
sebelum kita menyadari bahwa layar hendak terurai
bagai pertunjukan sandiwara yang menjelang usai
aku tak pernah percaya bila kau masih ada disini
sebagaimana dulu saat kau tinggalkanku sendiri
begitu sulit bagiku untuk mencari jalan kembali
meski sayap merpati mengajakku terbang tinggi
aku mulai gelisah bila langkahku mulai menjauh
aku merasa gundah bila daun-daun mulai luruh
aku terkurung rasa sedih bila mentari tenggelam
aku meronta saat kedua mataku hendak terpejam
#donibastian - lumbungpuisi
GF - 11/03/2016
ilustrasi gambar: digaleri.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H