terpendam di bawah pelataran bumi timur kami berada
ketika mentari pagi menyinari tubuh berselimut salju
sejuk udara nyaman di puncak bukit mencakar angkasa
sebagai kenangan empat dasa warsa yang jauh berlalu
sesungguhnya kami adalah bayi dalam rahim ibu pertiwi
semestinya ‘kan lahir menunggu satu masa yang gemilang
gemerlap wajah berkilau meski terselip di sela batu kali
di bawah redup cahaya temaram tanpa nyanyian binatang
hingga datang satu masa yang tak pernah kami sangka
keberadaan kami telah tercium oleh sepasang mata biru
di atas roda-roda yang melindas punggung dan kepala
rasa perih yang meregang bagai luka tersayat sembilu
pilar besi nan tajam mengoyak raga kami sepanjang waktu
semburan asap mesin panas meluruhkan keheningan malam
gemuruh suara dinamit bagai pesta kembang api tahun baru
bunyi peluit tertiup sebagai awal mula pemusnahan alam
tubuh kami yang tercerai berai di hantam keserakahan
mesin penggiling merajam setiap jengkal tanah
berjalan menyusuri lorong pipa yang gelap panjang
hingga berakhir di meja singasana kerajaan manca
kami menangis di saat mereka berdansa meraih keuntungan
sebab mereka telah merampas kami dari peluk ibu pertiwi
wajah-wajah dusta senantiasa tertutup topeng kebohongan
jerit suara kami menggema namun tak pernah ada yang peduli
wahai bintang yang tertanam di puncak gedung tinggi
mengapa kau biarkan kami pergi terbawa rayuan angin
bukankah kami adalah ribuan permata yang menerangi
sebagai bekal hidup anak angsa di masa depan nanti
apa sesungguhnya yang sedang kalian fikirkan
sementara pundi-pundi tersimpan dalam gudang
bukalah mata dan hatimu demi kemegahan bangsa
selamatkanlah kami yang masih tersisa di Papua
.oODBOo.
@donibastian – lumbungpuisi
greenfield – 1/12/2015
ilustrasi gambar : willemwandik.com