Dalam hitungan hari umat Islam di seluruh penjuru dunia akan merayakan hari raya terbesar setelah 'Idul Fitri, yaitu 'Idul Adha yang masih dilaksanakan di tengah badai pandemi Covid-19.
'Idul Adha memiliki sejarah yang panjang dalam membentuk substansi keimanan dan kepasrahan menerima syariat (hukum agama) melalui keteladanan sosok inspiratif berikut kisahnya yang diceritakan di dalam Alquran.
Walaupun sosok inspiratif dan teladan tersebut disinggung secara implisit dalam tradisi agama-agama samawi (baca: Agama yang diturunkan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala dari langit dan diberikan panduan berupa kitab suci), tetapi nilainya terasa khas dan sangat eksplisit di dalam ajaran Islam.
Sebelum kita menggali makna yang terkandung di dalam 'Idul Adha, maka kita harus memahami pengertiannya terlebih dahulu. Secara linguistik 'Idul Adha tersusun dari dua kata, yaitu 'Idul artinya kembali dan Adha artinya binatang yang disembelih pada seremonial ibadah pada tanggal 10 Zulhijjah, sedangkan secara sosiologis, pengertian 'Idul Adha mengarah kepada tradisi atau hari raya yang dilaksanakan umat Islam, mulai dari ibadah sampai mengorbankan binatang ternak.
Di samping itu, 'Idul Adha juga dikenal dengan istilah 'Idul Nahr atau 'Idul Qurban. Sedangkan bagi umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah haji, tepat pada 'Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Zulhijjah mereka melakukan serangkaian ibadah yang berbeda dengan umat Islam lainnya, mulai dari bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah, mengorbankan binatang ternak dan melaksanakan tawaf.
Islam sebagai tatanan dan pedoman hidup secara holistik dan universal, memberikan peluang kepada kita untuk mengintegrasikan kecerdasan yang dimiliki dalam mengeluarkan hukum kontemporer yang luwes sehingga mampu menghadapi tantangan dan pergeseran jaman.
Dalam konteks ini, kita akan melihat hubungan 'Idul Adha atau 'Idul Qurban sebagai solusi yang dapat menstimulasi daya juang (immunitas) kita di tengah pandemi yang sedang terjadi. Tentunya, pandemi berpeluang menjadikan kita sebagai korban bukan Qurban, karena Qurban justru mampu menjadi solusi di tengah stagnannya (kebuntuan) penanganan pandemi.
Di dalam Qurban, kita selalu melibatkan nilai-nilai ilahiah (ketuhanan) dalam berbagai tindakan praktis yang sarat dengan nilai-nilai kebaikan yang bisa diterima oleh semua kalangan.
Secara linguistik, Qurban berasal dari kata "qaraba" artinya dekat, kemudian ditambahkan "an" dibelakangnya membawa makna kedekatan yang sangat dekat dengan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, sehingga dapat diartikan 'Idul Qurban itu bukan hanya sekedar mengorbankan binatang ternak, tetapi secara implisit di dalamnya terkandung makna ketaatan, kepatuhan dan keikhlasan dalam menjalankan perintah Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, sehingga eksistensi manusia difungsikan untuk memiliki rasa kepedulian sosial kepada orang lain, khususnya yang tidak mampu.
Qurban memiliki sejarah panjang yang telah diceritakan Alquran kepada kita, mulai dari kisah Habil dan Qabil sampai kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan kepada kedua anak Nabi Adam, yaitu Habil dan Qabil, untuk mempersembahkan hasil panen kebunnya, tetapi hanya persembahan Habil yang diterima Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, karena dia melakukannya dengan ketaatan, kepatuhan dan keikhlasan sehingga pengejawantahannya terlihat dari caranya dalam memilih hasil panen yang terbaik.