Lihat ke Halaman Asli

Doni Arief

Faqir Ilmu

Setitik di Balik Pesan "Cinta" Jalaluddin Ar-Rumi

Diperbarui: 21 September 2019   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: pinterest/kirismin kiriy

Dia adalah orang yang tidak mempunyai ketiadaan.Saya mencintainya dan Saya mengaguminya.Saya memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya.
Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi.
Dia adalah orang yang saya cintai, dia
begitu indah.
Oh dia adalah yang paling sempurna.
Orang-orang yang mencintainya adalah para pencinta yang tidak pernah sekarat.
Dia adalah dia dan dia dan
mereka adalah dia.
Ini adalah sebuah rahasia, jika
kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.

Rangkaian bait puisi yang diunggah oleh Jalaluddin ar-Rumi. Seorang sufi yang berperan sebagai pencari hakikat di balik syariat, penggelora cinta dalam penghambaan, pemabuk (ekstase) dalam kerinduan cinta, penyadar dalam percumbuan, pencinta yang dibatasi oleh kesempurnaan.

Sangat terasa dimensi terdalam (esoteris) dari setiap rajutan kata-kata Rumi, seolah-olah mengekspresikan sisi tidak terbatas (unlimited) dari hakikat penciptaan terhadap dirinya sebagai bentuk manifestasi kerinduan yang teramat sangat untuk kembali kepada Tuhan. Rumi, menggunakan kata "cinta" untuk mewakili kerinduannya tersebut. 

Semakin dalam cintanya kepada Tuhan, semakin hilanglah potensi cinta makhluk ditekan oleh cinta kepada Tuhan. Terjadi loncatan-loncatan yang membingungkan yang disenandungkan dalam perkataan verbal, di antara cinta fana' (terbatas) dan cinta baqa' (abadi). 

Bagi Rumi, tidak ada seorangpun yang dapat memahami cinta itu, sebelum dia merasakan bagaimana nikmat cinta yang sebenarnya. Pengamalan cinta bisa dilihat dan ditiru, tetapi pengalaman cinta hanya bisa dirasakan dengan hati. Belum tentu, semua orang sanggup menjadikan relung hatinya sebagai pupuk yang selalu menyuburkan benih-benih cinta di dalamnya. 

Ketika akhirnya, cinta harus sampai kepada hakikatnya, maka tidak ada satupun perkataan yang mampu menampung dan membendung maknanya, karena bahasa terlalu miskin dan terbatas untuk mengilustrasikan pengalaman indah yang didapatkan dalam cinta. 

Rumi menyatakan, "sudah kuuraikan seribu satu macam alasan untuk menjelaskan tentang cinta. Namun, tatkala cinta itu datang menyapa, aku malu karena tidak mampu menjelaskannya, karena hakikat cinta adalah sebuah rahasia yang tidak terungkapkan".

Bagi Rumi, cinta hanya ditujukan kepada Tuhan, walaupun dalam kesempatan yang sama cinta dapat ditujukan kepada ciptaan-Nya. Kesalahan bukan karena mencintai ciptaan-Nya, tetapi ketidakmampuan untuk memahami bahwa ciptaan-Nya hanyalah bayangan yang memantulkan wajah asli dari sebuah cermin, yaitu kekasih sejati. 

Rumi merangkainya dalam sebait puisi, "Dia adalah setetes air dari lautan tidak terbatas, atau sebuah cahaya yang memantul pada dinding. Semua kecintaan berasal dari dimensi lain yang lebih tinggi, sedangkan yang tertinggal di sini adalah pinjaman dan kesementaraan, karena cinta yang sesungguhnya hanya ada pada diri Tuhan itu sendiri."

Di dalam Alquran, Allah swt., mencintai manusianya, apabila manusia menjalankan syariat-Nya (Q.S. Alu Imran: 31). Secara eksplisit, kata "cinta", menjadi tenaga penggerak bagi para pencinta untuk mendapatkan dan memenangkan cinta Tuhan. Para sufi, sering menyebutkan bahwa alam semesta merupakan manifestasi dari cinta Tuhan, ketika manusia membalas cinta tersebut dengan ibadah kepada-Nya, maka semakin mengecillah ruang cinta di antara manusia dengan Tuhan. 

Dalam kapasitas ini, cinta sudah bertransformasi menjadi "ihsan", suatu kualitas hidup yang membuat manusia selalu merasa terawasi, merasa sangat dekat atau "mungkin" merasa melebur dalam kekuasaan Tuhan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline