Menikah dengan Jaka Tarub membuat Nawang Wulan tak lagi berkesempatan bisa bersua dengan kawan kawannya di kahyangan. Setiap hari ia harus menjalani hari hari seperti makhluk madyapada.
Ikut kumpulan, pergi rewang, arisan, mencari tambahan dengan dagang di pasar, mengurus anak, merawat mertua, memastikan ternak kenyang, hingga tetek bengek yang tidak terhitung. Satu satunya aktivitas yang tidak ia lakukan hanyalah mengurus sawah. Sebab ajian menggandakan padi membuat lumbungnya tak pernah tiris. Hanya dengan tiga butir gabah, bisa untuk bikin perut kenyang satu rumah.
Kadang ia rindu bersua bersama kawan kawannya penghuni mayapada. Saking rindunya kerap sampai terbawa mimpi. Berkali kali Nawang mimpi sampai kali ketujuh ia diberi bisikan gaib memintanya untuk membakar biji kopi dan menyiapkan sejumlah cangkir kopi yang panas mengepul.
Begitu terbangun ia termenung. Waktu sudah berada di sepertiga malam terakhir. Kalau dalam ilmu nujum, adalah mimpi yang tidak bisa diabaikan. Titiyoni, Gondoyoni, Puspatajem. Mimpinya masuk di Puspatajem. Kemungkinan tembus menjadi kenyataan adalah sangat besar.
Malam nanti adalah Selasa Kliwon. Ia berpikir, sepertinya malam nanti harus dilaksanakan pesan dari bisikan gaib tersebut.
Benar, begitu ia jalankan petunjuk dari mimpinya seketika angin berdesir semribit. Ganda Arum menyeruak masuk ke indera penciuman semerbak. Kawan-kawannya datang bersamaan duduk bersila melingkari api dari biji kopi yang terbakar. Cangkir kopi disahut diseruput satu persatu. Nawang Wulan gembira sekali. Tiba tiba dari balik punggungnya mencuat sepasang sayap. Ia terbang melayang. Senang bukan kepalang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H