"Lebih baik aku jadi biji kopi, daripada dimakan Buto Ijo!"
Demikian sumpah Timun Mas kepada langit & bumi begitu dengar Mbok Rondo Dadap menyampaikan bahwa titi wanci diambil itu tiba.
"Bila dimasa lalu aku adalah biji timun, ijinkan aku menjadi biji kopi, duh Sang Hyang Murbeng Dumadi"
pintanya sambil terisak.
Mbok Randa Dadap sedih mendengar seruan anaknya. Batinnya pedih. Sebagai Ibu yang membesarkannya, jiwanya tak rela. Tetapi janji harus ditepati. Buto Ijo sudah menagih. Lalu ia cari cara biar bisa lolos anak kesayangannya itu.
Srini, nama lain Rondo dari Desa Dadap ini, lantas pergi ke Kaki Merapi. Tepat di bukit Gandul, Ia curhat pada Resi Martani soal anaknya. Resi Martani mendengarkan jalan cerita sembari menutu biji kopi.
Sebelum Srini datang, ia selesai menyangan gabah kopi kering.
Aroma sangan kopi yang mengendap, ditambah gerusan biji matang, jadi aroma yang menenangkan. Mbok Randa lancar sekali bercerita. Jauh dari terbata bata yang biasanya hinggap pada orang panik kebanyakan.
Kira kira satu genggam selesai tutu, bubuk ia pindah ke 2 cangkir gerabah. Air jerangan di atas tungku ia tuang. Aroma kembali menyeruak. Satu cangkir ia sodorkan langsung pada perempuan penuh uban itu.
"Minumlah, ini kopi istimewa. Diberkahi Sang Hyang Sri. Semua kegundahan akan segera sirna begitu kau seruput!".
Ujar Martani lirih.