Lihat ke Halaman Asli

Dongeng Kopi

Berbiji baik, tumbuh baik!

Kopi Jogja, Dahulu dan Sekarang Sebait Dongeng Kopi

Diperbarui: 24 Juli 2023   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angkut Karung, Angkat Sumber Penerang Hidup Bersama Komoditas Kopi. Sumber GambarWujud Sutrisno

Komoditas kopi, sejak dahulu telah menjadi minuman yang mengikat rasa dan semangat bagi banyak orang di seluruh dunia. Tak heran bila komoditas ini sempat menjadi monopoli Arab berabad abad. Sempat dikenal sebagai emas hitam lantaran nilainya yang sangat tinggi, Bandar Yaman tumbang setelah ulah para maling kopi beraksi dan tersebar ke banyak penjuru. Baba Budan, Pieter van den Broecke, Gabriel-Mathieu Francois D'ceus de Clieu, Francisco de Mello Palheta adalah para pencuri kopi yang namanya sangat harum di kalangan pecinta kopi pelengkap sisi gelap dunia hitam; kopi. 

Baca: Maling Kopi yang Jadi Bapak Kopi Amerika

            Pencuri yang Mengubah Ibukota Kopi

            

Kopi di Indonesia, melekat erat dengan budaya keseharian masyarakat. Kopi dihadirkan sebagai bagian perjumpaan, perekat silaturahmi. Komoditas andalan ini secara catatan terstruktur hadir sejak zaman Kongsi Dagang Belanda. Kopi menjadi komoditas andalan selain tebu dan rempah-rempah. Kedatangannya yang berangsur-angsur dibudidayakan di Kedawung lantas tersebar ke beberapa titik di hindia Belanda. 

Persebaran kopi sebagai lahan budidaya juga tersebar di Jogjakarta. Setidaknya ada dua titik di Jogja yakni di Kaki Merapi dan di Perbukitan Menoreh di Puncak Suroloyo. Catatan tradisi kopi di Jogja memang sangat minim sekali bila dibandingkan dengan tradisi ngeteh yang sedemikian mengakar bersama Karaton Ngayogjakarta. Dalam tulisan ini, kami akan mengupas sejarah kopi di Jogja, melacak perjalanan biji kopi dari tanah hingga menjadi minuman yang menggugah selera di kota ini.

1. Jejak Pertama Biji Kopi di Jogja

Kisah kopi di Jogja berawal dari perjalanan biji kopi Arabika yang tiba di Indonesia pada awal abad ke-17 melalui program tanam paksa. Orang-orang Belanda mencoba menanam pohon kopi disekitar lereng Merapi tersebab memiliki hawa sejuk. Meskipun sudah diperkenalkan sejak zaman kolonial Belanda, Selepas kemerdekaan kopi, tidak lagi massif dan baru kembali dintensifkan pada tahun 1984. Kopi Merapi punya kendala terbesarnya adalah alam. Tiap kali terkena erupsi, lahan kopi kembali hilang dan harus kembali ditanam ulang. Oleh sebab itu budidaya kembali diupayakan pada tahun 1992, 2004, dan 2012 pasca erupsi besar pada tahun 2010. 

Selain Merapi, sentra kopi di Jogjakarta juga dibudidayakan di Perbukitan Menoreh. Pada tahun 1825-1830 di Perbukitan Menoreh Belanda melakukan tanam paksa untuk varietas Kopi dan Kakao. Beberapa daerah yang menjadi areal penanaman kopi dan kakao diantaranya adalah Pedukuhan Kampong, Pedukuhan Tanjung, Pedukuhan Promasan, Kopeng, Pedukuhan Kajoran, Samigaluh, dll. Akibat dari tanam paksa tersebut maka terjadi persilangan akar antara kopi dan kakao sehingga hasilnya sekarang diberi nama sebagai kopi Moka yang juga menjadi produk andalan penduduk Pegunungan Menoreh. 

Setelah sempat mengalami pasang surut, kini kopi Menoreh memiliki beberapa brand diantaranya  Kopi Suralaya, dan Kopi tumpangsari.

2. Berdampingan dengan Tebu, Kopi di Jogja Lebih Sebagai Pelengkap

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline