Awal Dongeng Kopi buka sebagai kedai, pasar belum semeriah sekarang. Pasar kopi spesiality masih belum matang. Orang-orang masih senang tandang di burjo, angkringan, warkop model girasan, khas Jawa Timuran, dan lebih banyak datang saat petang hingga malam berpulang.
Saat itu kedai pertama kami buka di barat tugu pal putih. Menempati ruko kecil berderet antara BRI Pingit, Spa dan toko peralatan pertukangan. Setiap kali kopi kami sajikan, menurut mereka kurang nendang. Karena kekentalannya kurang ekstra, pahitnya kurang terasa. Ya, pasar saat itu masih belum cukup teredukasi bersama jenis kopi dengan derajat sangrai yang tidak gelap. Sebagian besar lidah adalah penikmat robusta karena memang jarang arabika beredar dipasaran. Masih asing.
Hanya sedikit sekali yang mengapresiasi jenis kopi yang tersaji dari berbagai golongan asal. Masih bisa dihitung jari.
Tak patah asa, kami kemudian bikin jargon untuk mencuri perhatian dengan kampanye massif. Menggembar-gemborkan ke seluruh kanal social media, menggaungkan di berbagai ruang lewat aneka media.
Jargon itu cukup pendek, tapi terus kami ulang, kami ulang, kami ulang terus terusan. Kami memakai tagar #StopKopiSobek. Sebuah jargon pendek yang mencoba untuk mengambil atensi atas posisioning kedai kami yang berbeda dengan kedai-kedai yang sudah ada. Sekaligus menegaskan bahwa kopi yang kami sajikan adalah kopi dari biji pilihan yang terintegrasi dari kebun ke cangkir.
Stop Kopi Sobek kami dengungkan dalam saluran yang paling ekstrim adalah dengan aksi vandalisme. Ribuan stiker kami cetak, kami tempel dimana-mana, utamanya ruang publik. Kami bagi-bagikan ke semua orang tiap kali seluruh penjaja kami jalan-jalan kemana-mana. Di kedai kami, kami hampar di depan bar dalam wadah. Setiap orang kami daulat untuk mengambilnya biar di tempel suka-suka.
Entah di helm, di cermin kos, di pintu rumah, atau di slebor motor biar dilihat para pengguna jalan saat berhenti di lampu merah. Tak cukup itu, kami bikin selebaran poster kami tempel di berbagai tempat. Tulisannya cuma satu tagar stop kopi sobek. Sungguh aksi propaganda yang tujuannya semata-mata sejatinya adalah merebut perhatian saja, bahwa kami kedai kopi yang berbeda. Sungguh berbeda dengan sekarang yang modelnya belanja buzzer agar segera viral atau masuk trending topik.
Jargon itu menggelinding, membesar dan beberapa mulai menggunakan tagar tersebut. Bahkan ada yang menambahkan dengan kalimat, kopi itu digiling, bukan digunting. Sebuah kalimat penjelas bahwa itu merujuk pada kopi renceng yang hadir di tempat-tempat jualan. Padahal kalau kita telaah, semua kopi sebenarnya juga dikemas dalam bungkus rapat, kalau tidak disobek ya digunting, atau pakai pisau juga bisa. digigit juga bisa. Mau itu kopi biji mau kopi bubuk semua wadahnya sama, kecuali pada wadah kaleng atau toples. Baru pakainya diputar untuk membukanya.
Tak ingin menjadi jargon kosong saja kami akhirnya merealisasikan kampanye tersebut menjadi satu program bernama #MakeYourOwnCoffee. Satu sesi seduh kopi sendiri yang didampingi barista kami dengan tajuk Seduh Suka Suka Bayar Suka Suka.
Ruang tempat belajar membikin secangkir kopi, sekaligus mengasah ketrampilan dan menyesap pengetahuan soal kopi bersama barista kami di tiap pagi sampai siang hari. Sesi ini adalah sesi yang selalu dinanti oleh para pelanggan yang penasaran bagaimana bikin kopi yang layak, serta ajang bagi pengunjung untuk ngopi bayar sesukanya. Bayar yang dimasukkan ke dalam kaleng kami labeli 'umplung cemplung'. Wadah tempat membayar yang hanya diketahui oleh yang bayar dan Tuhan saja.