Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Dua Puluh Satu

Diperbarui: 21 April 2016   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Lukisan RA. Kartini | KOMPAS/PRIYAMBODO"][/caption]matahari oranye tanggal dua puluh satu. mekar berbunga

ku lihat hiruk-pikuk gadis-gadis belia
terhuyung-huyung menyunggi sanggul
terseok-seok berbalut kebaya
berhias pupur tebal gincu menyala

ku lihat hiruk-pikuk ibu-ibu muda
merajang-rajang sayur dan rempah
menggoreng bandeng-tempe-kerupuk
aroma mengepulnya menggugah selera 

ku lihat hiruk-pikuk wanita pemuja sastra
memulung ceceran aksara
menjahitnya pada untaian kata
larik dan bait puitis tersusun memesona

"oh, IBU. ini cara kami mengenang namamu.  
dalam anggun berbusana
dalam olahan bercita rasa
dalam elok syair pujangga."

matahari oranye tanggal dua puluh satu. meluruh di ujung ufuk

pupur dan gincu luntur  
hidangan dingin nyaris basi
kata-kata hilang marwahnya
maka namamu tinggallah gema 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline