Marvia Malik (21), News Achor baru, Pakistan menjadi pembicaraan hangat minggu ini. Transgender pertama yang menjadi News Achor di Pakistan. Ucapan selamat datang dari seluruh dunia, usai dirinya mengudara sebagai News Anchor Kohenoor TV. ''Marvia dipilih karena kemampuanya, bukan karena kelaminya, '' ujar Junaidi Ansari - Pemilik Kohenoor TV.
Diskriminasi transgender, terjadi diseluruh dunia. Walaupun secara resmi pemerintah Pakistan sudah mengakui keberadaan transgender sebagai jenis gender ke tiga, tetapi budaya dan agama begitu lantang menyerang transgender.
Mereka, dianggap sebagai aib keluarga. Masyarakat mengangap transgender semacam hama yang perlu dipukuli, dibasmi bahkan dimatikan. Tak terkecuali orang tua Marvia, mereka tidak mau lagi berurusan dengan anak yang dianggap "kebancianya" memalukan.
Terpaksa mandiri sebelum waktunya, Marvia bekerja di salon untuk menyambung hidup. Menyisihkan hasil kerja di salon dan honor sebagai model untuk membiayai kuliahnya di jurusan jurnalistik. Potensi dan semangat, mengalahkan persepsi negatif orang soal transgender. Marvia masuk TV sebagai pembaca berita, bukan pembuat sensasi.
Indonesia punya banyak transgender, yang juga sukses di bidang selain hiburan dan fashion.Tetapi tentu saja, transgender yang sukses dan berkelakuan normal tidak bisa jadi bahan lelucon.
Persaingan industri pertelevisian tanah air yang makin lama makin tak sehat, akhirnya menampilkan tontonan tak sehat.Transgender, diselipkan dalam tayangan sebagai pendongkrak rating.
Kehadiran para alay yang lebay melambai, tiba-tiba menjadi trend di semua program hiburan. Aktor-aktor yang aslinya bukan transgender, memainkan peran sebagai transgender untuk memancing tawa penonton.
Prilaku yang awalnya cuma bagian dari akting, tetapi akhirnya mempengaruhi persepsi. Berkembanglah persepsi tentang transgender sebagai manusia lebay bin norak yang tidak cerdas.
Ramai suara protes, ketika tahun 2016 KPI mengeluarkan larangan media masa menampilkan Waria dalam program dan iklan. Pelarangan itu, diharapakan mampu mencegah generasi muda Indonesia dari paparan "virus" LGBT yang sedang mewabah. Para simpatisan LGBT, mengangap peraturan itu diskriminatif, menutup rezeki orang dan seterusnya.
Cobalah duduk tenang, dan mulai berpikir. Apakah citra transgender sebagai manusia lebay bin norak yang tidak cerdas itu yang diharapkan para pejuang transgender sejati. Tayangan - tayangan yang sebenarnya melecehkan itu menjadi pemicu bullying pada transgender.
Berapa banyak, transgender yang putus sekolah karena tidak tahan dikerjain teman. Tidak berpendidikan, tanpa keterampilan, dan terputus dari keluarga akhirnya mereka cuma punya satu cara untuk bertahan hidup, menjajakan diri di lampu merah.