Yang menarik perhatian pada Triangle Culture Festival (TCF) di Monpera Palembang 3 Februari 2018 adalah cosplay dongeng dari Tiongkok . Biksu Thong sam chong, Kera sakti,Pat kay ,Sampek dan Engtay,Hakim Bao serta beberapa cosplay yang saya tak tahu karakter cerita apa. Seolah-olah mereka semua habis syuting di Palembang. Melihat mereka foto bareng, tak mau ketinggalan saya ikutan eksis.
Hubungan budaya,perdagangan dan agama daratan Tiongkok dan Palembang bisa ditelusuri sampai berabad-abad lampau. Beberapa kebudayaan yang aslinya dari China kemudian berasimilasi dengan budaya Palembang.Bahkan empek-empek yang merupakan kreativitas etnis Tionghoa akhirnya menjadi ikon Palembang.
Tahun 1848-1854,kolonial Belanda menerbitkan Staadblads, yang mengatur kedudukan hukum masyarakat Hindia Belanda. Pengaturan, yang merupakan kelanjutan dari Wijkenstelsel (Undang-undang wilayah) peraturan mengenai pemukiman dan mobilitas masyarakat menurut etnis.
Kampung China, Kampung Arab, dan Kampung India menjadi bukti bahwa produk hukum kolonial itu pernah eksis di Palembang. Dengan dibagi-bagi menurut etnis menjadi mudah diawasi dan dikendalikan. Singkat kata, ini adalah bagian dari kampanye devide et impera - pecah belah dan kuasai.
Di perkampungan Palembang yang hetrogen, masyarakat menggunakan istilah wong kami untuk menyebut kelompok mereka dan wong kamu untuk menunjuk lawan bicara .Idiom wong kamu - wong kami, sebenarnya berkesan ofensif - menyerang.
Seperti dua kubu yang berhadapan saling tunjuk muka kami dan kamu. Situasi yang sangat mudah untuk di manipulasi pihak ketiga.
Menarik sekali mengamati bagaimana sejatinya interaksi antar etnis di Triangle Culture Festival yang bertujuan mendekatkan pendukung ketiga budaya. Dibawah tenda utama saya duduk tak jauh dari alur masuknya tamu.
Sepasang muda mudi berselempang Bujang gadis Palembang berdiri menjadi penyambut undangan. Tak lama berselang tiba pula dua pasang muda mudi dengan selempang Koko dan Cici Palembang.Pasangan yang hadir belakangan toleh kiri kanan akhirnya berdiri saja bersebrangan dengan pasangan bujang gadis tadi.
Sengaja saya mengamati dengan seksama bagaimana interaksi antara Bujang Gadis Palembang dengan Koko dan Cici.Tak ada yang saling senyum tegur dan sapa. OMG saya nyengir dalam hati mereka adalah para pemenang kontes dengan motto Brain Beauty and Behavior. Kemana senyum,ramah tamah dan sopan santun yang memukau hati para juri dulu ?
Pemuda-pemudi generasi milenial ini adalah masa depan Indonesia. Mereka, semakin jauh dari masa dimana sejarah Bangsa Indonesia bermula. Mengkondisikan,agar mereka merasa berakar di nusantara adalah penting.Membuat mereka , merasa menjadi bagian "organik" dari Bangsa Indonesia adalah krusial .
Etnis-etnis di Palembang ibarat kata benang warna-warni yang di tenun menjadi kain.Tetap dalam warna masing-masing tetapi menyatu dalam harmoni pada selembar kain. Bhineka tunggal ika berbeda tetapi satu jua adanya.