Ditengah carut marut penegakan hukum di negeri ini, KPK seperti oase yang memberikan harapan baru kepada masyarakat.Institusi yang dibentuk di era Presiden Megawati ini mampu membuktikan bahwa stigma penegakan hukum yang tajam kebawah, tumpul keatas tidak berlaku bila berurusan dengan KPK.
Namun begitu, gonjang-ganjing penetapan Undang-undang KPK, banyak menimbulkan rasa skeptis dari masyarakat. Materi undang-undang yang membatasi gerak langkah KPK dalam melakukan penyadapan, tak urung membuat masyarakat dan penggiat antikorupsi dihinggapi keraguan.
Tambahan pula, beberapa waktu kebelakang, KPK terlihat mati suri. Tidak seperti dulu, pasca penetapan UU KPK, masyarakat tidak melihat lagi berita penangkapan dan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh institusi ini. Malah, berita yang muncul dari KPK adalah tentang aktifitas Ketua KPK yang melanggar kode etik KPK karena terlihat berinteraksi dengan klien yang berpotensi memunculkan konflik kepentingan dengan posisinya sebagai ketua KPK. Hal ini ditambah lagi dengan aksi Firli Bahuri yang dianggap bergaya hidup mewah, ketika beliau menggunakan helikopter sebagai alat transport yang mengantarkan beliau ke suatu pertemuan.
Miris, padahal sebelumnya KPK adalah institusi yang sangat ditakuti para koruptor. Survey membuktikan, sebelum UU KPK disahkan, institusi anti korupsi ini merupakan institusi yang paling dipercaya oleh masyarakat. Tidak perlu heran, kala itu, warga selalu menunggu "Jumat Keramat". Hari yang sudah dianggap sebagai mitos, hari yang dianggap sebagai hari sakral bagi KPK melakukan OTT dan menjebloskan para tikus-tikus berdasi ke hotel prodeo.
Memang kinerja KPK belum boleh dibilang sempurna. Banyak pengamat mengkritik bahwa KPK hanya bisa melakukan OTT, sementara kasus-kasus besar seperti Bank Century, BLBI dan kasus-kasus besar lainnya tidak bisa disingkap oleh KPK. Tambahan lagi, KPK dianggap tidak berhasil menjalankan fungsi pencegahan korupsi dan koordinasi supervisi dengan institusi penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Kendatipun begitu, setidaknya kinerja KPK yang berani menangkap para pejabat tinggi dan pengusaha hitam di negeri ini mampu membangkitkan harapan warga yang sudah muak dicekoki penegakan hukum yang dipenuhi sandiwara dan kepura-puraan.
Tapi semua harapan itu seakan sirna ketika UU tentang KPK disahkan. Bagaimana tidak, KPK mengamanatkan bahwa setiap penyadapan harus mendapat izin dari Dewan Pengawas. Artinya senjata yang menjadi andalan KPK ini, sontak kehilangan kesaktiannya dalam menguping percakapan dan transaksi gelap para koruptor. Kekhawatiran ini beralasan. Setelah pemberlakukan aturan baru ini, aksi penyadapan terduga korupsi dikhawatirkan rawan bocor, bila melibatkan pihak ketiga seperti Dewan Pengawas.
Keraguan tentang materi UU KPK yang dianggap melemahkan ini tidak juga sirna kendatipun para petinggi negeri ini sudah menyerukan bahwa tujuan UU KPK adalah demi memperkuat institusi pemberantas korupsi ini. Keraguan ini kemudian terbukti setelah Harun Masiku, lolos dari kejaran KPK. Oknum yang diduga sebagai otak pemberi suap demi memuluskan ambisinya menjadi anggota legislatif dari Partai PDIP melalui skema Pergantian Antar Waktu (PAW) ini, berhasil melarikan diri. Kegagalan penangkapan Harun Masiku disinyalir akibat dari rencana operasi dan penyadapan yang sudah bocor duluan.
Ditengah rasa skeptis, rupa-rupanya para komisioner KPK masih punya sisi idealisme ketika para koruptor berpesta pora pasca UU KPK di berlakukan. Secara diam-diam mereka mengincar para koruptor yang sudah lupa diri dan merasa diatas angin, karena mengganggap sudah tidak ada lagi yang mengawasi dan menghalangi aksi mereka.
Aksi perdana Firli Bahuri dkk setelah diangkat menjadi Komisioner KPK adalah menciduk Bos Kementerian Kelautan dan Perikanan. Edhy Prabowo, diciduk karena memanfaatkan bayi lobster untuk korupsi, demi memuaskan hasratnya duniawinya membeli barang-barang mewah. Akan tetapi OTT ini belum membuat para penggiat korupsi percaya sepenuhnya dengan kinerja KPK. OTT KPK kali ini masih dicibir sebagai sesuatu hal yang berbau politis.
Banyak pengamat yang mendadak menjadi profesor dengan menciptakan teori baru. Teori baru yang sayangnya penuh dengan teori "cucokologi". Mereka mengatakan bahwa penangkapan Edhy Prabowo bertujuan untuk merusak nama baik Prabowo Soebianto, Ketua Partai Gerindra, partai yang menaungi Edhy Prabowo. Teori cucokologi para profesor dadakan ini mengaitkannya dengan niat mantan menantu Presiden Soeharto ini, yang memang memiliki rencana untuk maju lagi dalam Pemilihan Presiden Tahun 2024.