Lihat ke Halaman Asli

H.D. Silalahi

orang Tigarihit

Indonesia Butuh Poros ke-3, Bukan Kadrun dan Bukan Cebong

Diperbarui: 22 Juli 2020   21:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rambu Simpang Tiga (toko rambu.com)

Kontestasi Pemilihan Presiden 2014,  ternyata menyisakan residu politik yang tidak bisa hilang sampai sekarang.  Pertarungan ketat Koalisi Merah Putih yang menjagokan Prabowo dan Koalisi Indonesia Hebat yang mengusung Jokowi, menciptakan polarisasi di akar rumput. Polarisasi  ini memunculkan 2 pendukung, atau boleh disebut 2 poros , yaitu poros cebong dan poros kampret.  Cebong untuk pendukung Jokowi dan  kampret buat para pendukung Prabowo.

Sebutan cebong dan kampret sendiri tidak ujug-ujug muncul begitu saja,  awalnya para pendukung kedua calon presiden memprovokasi kubu lawan dengan julukan "panasbung" dan "panastak", singkatan dari pasukan nasi bungkus dan pasukan nasi kotak yaitu sebutan bernada mengejek bagi para pendukung kedua kubu yang memang sering mendapat jatah nasi bungkus dan nasi kotak ketika berkampanye.

Sebutan cebong sendiri kemungkinan besar berasal dari hobi Pak Jokowi memelihara kodok di Balai Kota, Kantor Gubernur DKI.  Kampret sendiri muncul dari pendukung Pak Jokowi yang kesal dipanggil cebong.

Polarisasi di periode pertama, berlanjut di pemilihan Presiden berikutnya. Sebutan cebong dan kampretpun makin mengkristal pada kedua pendukung calon Presiden ini. Boleh dibayangkan pada kontestasi pilpres 2019, setiap orang yang pro dan kontra, siapapun orangnya, pasti dilabeli julukan yang cebong dan kampret. Julukan yang sejatinya merupakan nama binatang, kampret merupakan nama lain dari kelelawar sedangkan cebong sediri merupakan cikal bakal binatang kodok. 

Entah kenapa, masyarakat Indonesia terutama netizen gemar membandingkan segala sesuatu, dan  berbagai hal, yang sayangnya tidak menghasilkan hal yang konstruktif, malah berakhir menjadi friksi yang tajam dan menciptakan fanboys-fansboys fanatik. 

Komparasi itu malah menyangkut hal-hal receh dan tidak bermanfaat. Contohnya saja, perbandingan sepeda motor merek Honda vs Yamaha, Honda Beat vs Yamaha Mio, Honda CB vs Yamaha Vixion, Raisa vs Isyana, JKT 48 vs Cherrybelle,  AS vs Rusia dan berbagai hal,  yang menciptakan 2 kubu fanatis yang berlawanan.

Kembali ke cebong versus kampret, dengan berakhirnya Pilres 2019, Pak Prabowo memilih bergabung dan berkerjasama dengan Pak Jokowi di Pemerintahan. Tetapi  kedua poros ini seperti tidak rela berdamai, cebong dan kampret tetap asyik dengan pertarungannya.  

Meskipun Pak Jokowi dan Pak Prabowo sudah menyerukan rekonsiliasi dan meminta para pendukungnya menyudahi kubu-kubuan ini, tetap saja sebutan kampret dan cebong menjadi label resmi kedua poros ini.  

Akhir-akhir ini, bukannya makin mereda, kampret malah bermetamorfosis menjadi kadrun, kadal gurun.....ha.ha.ha. Hanya di negeri +62, bisa ditemukan kelelawar yang mampu bermetamorfosis menjadi kadal. 

Tetapi, sudah menjadi hukum alam, sesuatu yang berlebihan pasti membuat tidak nyaman. Akhir-akhir ini, sebutan cebong dan kadrun membuat sebagian orang gerah. Bagaimana tidak, tokoh yang sudah teruji integritasnya seperti Ibu Susi Pujiastuti  malah dijuluki kadrun ketika mengkritik Pemerintah, demikian juga dengan tokoh-tokoh lain, dijuluki cebong ketika memuji kinerja Pemerintah.  Gawat, ini namanya bullying berjamaah terhadap orang-orang yang tidak sepaham. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline