Di awal Januari 2020, rombongan kapal penangkap ikan dari Negeri Panda masuk lagi wilayah Laut Natuna Utara. Kejadian ini sudah berulang, kapal-kapal nelayan China berani bermain jauh dari negerinya karena dikawal oleh Kapal Penjaga Pantai RRC. Tak pelak kapal dari utara ini membuat resah Pemerintah Pusat dan Presiden Jokowi.
Untuk merespon kegerahan Presiden, TNI AL segera mengirim 8 unit kapal perang berjenis pemukul, ditambah dengan TNI AU yang mengirim 4 unit Pesawat tempur F16 dengan senjata lengkap. Punggawa Pejambon, Retno Marsudi juga segera mengirimkan nota protes ke China.
Syukurlah nelayan China yang dikawal oleh Kapal Coast Guard Pemerintah China segera mengalah ketika melihat kita bereaksi keras. Pada saat kunjungan kerja Presiden Jokowi Ke Natuna, beliau tidak melihat lagi kapal-kapal dari China berseliweran.
Kedepan, besar kemungkinan kejadian ini akan berulang seperti main petak umpet, nelayan China akan masuk ZEE Laut Natuna Utara ketika kita lengah. Kita harus bersiap, kehadiran negara di Laut Indonesia merupakan keharusan, jangan terulang lagi kejadian seperti ini, pemerintah seperti kebakaran jenggot dan tergopoh-gopoh mengirim armada ke Natuna setelah nelayan lokal ribut dan menjadi viral.
Sesungguhnya, berdasarkan hukum Indonesia dan aturan Internasional, reaksi kita overkill merespon kejadian di Laut Natuna Utara tersebut. Sebab unsur yang masuk ke wilayah ZEE kita, hanya nelayan dan kapal penjaga pantai asing maka belum saatnya TNI AL turun tangan. Masih banyak institusi yang punya kewenangan untuk menanganinya, seperti BAKAMLA misalnya, atau Kapal Pengawas Perikanan, malah KPLP sebenarnya punya kewenangan juga untuk mengatasi rombongan kapal dari negerinya Jack Ma ini.
Aturan Internasional mengenal prinsip kesetaraan atau equality, kapal sipil yang masuk ke laut kita, seyogyanya dihadapi kapal sipil pula. Pagelaran Kapal Perang untuk menghadapi kapal sipil, akan menghadapi konsekwensi yang berat apabila sampai kebablasan. Kita boleh dibilang beruntung, karena Komandan KRI yang ditugaskan menghadapi provokasi China kemarin mempunyai pengendalian emosi yang baik. Karena ditengah provokasi kapal Coast Guard China, mereka masih dapat bersikap tenang dan tidak emosi.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Kapal Perang kita sampai melepaskan tembakan. Karena satu peluru saja yang menghantam kapal mereka, menurut aturan internasional dapat dianggap sebagai casus belli alias pernyataan perang. Dalam aspek militer casus belli dianggap blunder, dalam kerangka diplomasi casus belli dianggap sangat merugikan karena diketegorikan sebagai negara yang memulai perang. Dulu, Vietnam pernah naik pitam ke Indonesia karena kapal perang TNI AL menembaki nelayan mereka, tetapi mengingat persaudaraan sesama ASEAN mereka tidak memperbesar masalah ini.
Sebenarnya, counterpart yang sepadan di kasus kemarin adalah BAKAMLA. Mengutip Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014, BAKAMLA mempunyai tugas untuk melakukan patroli keamanan dan keselamatan di perairan Indonesia dan wilayah yuridiksi Indonesia. Artinya BAKAMLA tetap mempunyai kewenangan di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Tetapi ada permasalahan klasik yang dihadapi oleh BAKAMLA, tidak lain dan tidak bukan adalah keterbatasan anggaran... duit lagi, duit lagi.
Sebenarnya Pemerintah dibawah rezim Jokowi mempunyai keinginan yang kuat untuk memperkuat BAKAMLA, tetapi menjadi berbeda kalau berbicara mengenai anggaran. BAKAMLA harus berbagi APBN sektor kelautan dengan 13 institusi di Indonesia yang mempunyai kewenangan di laut. Dari keseluruhan institusi tersebut terdapat 6 lembaga yang mempunyai armada laut, mulai dari TNI AL, BAKAMLA, KPLP, Bea Cukai, Pengawas Perikanan sampai dengan polisi perairan. Banyaknya lembaga ini membuat alokasi APBN untuk kelautan, tidak bisa fokus pada BAKAMLA saja.