Lihat ke Halaman Asli

Donald Haromunthe

Guru Seni Budaya di SMA Budi Mulia Pematangsiantar

Il Phenomenon – Ahok dan Ronaldo Berebut Gelar

Diperbarui: 5 November 2015   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih ingat dengan Ronaldo si "plontos" khan?

Tentu saja. Tidak perlu menjadi seorang fanaticos sepak bola untuk mengenalinya. Sekedar mengingatkan saja, striker plontos penyandang nama asli Ronaldo Luís Nazário de Lima atau yang akrab disapa Ronaldo ini adalah sang “Fenomena” atau Il Phenomenon dalam sebutan kerennya). Lepas dari segala dinamika karir yang dialaminya, mulai dari ribut dengan pelatih, berpindah-pindah klub sampai masalah berat badan konsistensinya pada sepakbola terutama pada kurun 90-an sampai 2011 di kancah sepakbola Eropa dan internasional membuat kita tidak merasa boros menggelarinya si “fenomenal”. Puluhan prestasinya baik sebagai individu maupun dalam sumbangsih ke tim telah membuatnya tak tergantikan di hati para penggemarnya, apalagi melihat betapa dia tetap bersusah-payah menggumuli si kulit bundar di tengah cederanya yang muncul-tenggelam ibarat sahun itu.

Nah, kalau yang ini?

Rasanya tidak perlu memperkenalkan lagi ya. Semua warga di republik ini, (kecuali mungkin suku Anak Rimba di Jambi atau suku Badui di ujung Banten atau suku-suku lain di pedalaman yang belum tersentuh surat kabar, apalagi membaca Kompasiana, hehe) tentu tahulah bahwa wajah yang mulus ini adalah milik sang wagub DKI Basuki T. Purnama atau yang akrab disapa Ahok.

Sejenak saya melihat keduanya tidak ada persamaan yang cukup besar untuk bisa disandingkan dalam satu konteks. Profesi keduanya berbeda, SARA-nya juga, dan kemungkinan besar juga mereka belum pernah bertemu (Saya tidak tahu apakah Bapak Ahok nge-fans dengan si plontos Ronaldo atau malah dulu terbang ke luar negeri hanya untuk menonton sepakbola, well ... it is not relevan to talk here).

Satu hal jelas: keduanya berhasil memikat saya. Tentu berawal dari penglihatan saya akan publikasi tentang mereka. Kemudian ada sesuatu yang unik saya temukan dari keduanya. Semakin saya ikuti ada yang unik ini bukan sekedar “eksentrik-asal tampil” tetapi sesuatu yang luar biasa.

Runut-punya runut, ternyata pengamatan saya terhadap sepak terjang keduanya ini-lah yang saya bisa sebut fenomena (Yun. phainomenon, "apa yang terlihat", dalam bahasa Indonesia bisa berarti: gejala, misalkan gejala alam; hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra; hal-hal mistik atau klenik; fakta, kenyataan, kejadian). Tetapi kemudian, kata turunan adjektif, fenomenal, berarti: "sesuatu yang luar biasa". Ya. Ronaldo memang fenomenal pada masanya, dan di bidangnya. Tentang hal itu saya harus angkat tangan kepada para komentator sepakbola atau fans fanatik dari klub sepakbola tertentu. Saat ini Saya mau fokus ke fenomenal yang satu lagi ini. Bolehlah saya sebut si fenomenal Ahok atawa Ahok “Il Phenomenon”.

Saya tidak keberatan dituding subjektif, tetapi keduanya layak disebut luar-biasa alias fenomenal. Dan saya sadar bahwa saya, sebagai bagian dari masyarakat yang masih belum sembuh benar dari penyakit “kurang percaya diri”, saya butuh “idol” atau idola seperti ini. Tentu saja, supaya saya kemudian bisa melabuhkan identifikasi saya ke siapa dan dalam hal mana. Artinya, kalau Ahok yang dari Belitung sana berhasil menyedot perhatian Senayan dan seantero Jakarta, ya saya juga pasti bisa. Praktisnya, bersama orang-orang lain, saya jujur mulai kagum dengan si fenomenal Ahok ini.

Bukan kompetensi saya untuk menilai kapasitas dan kinerja Ahok sebagai Wagub DKI Jakarta, tempat saya juga belajar dan berjuang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan “warga kampung tengah” alias perut ini. Saya hanya tertarik dan tak henti-hentinya mengernyitkan dahi setiap kali ada pemberitaan tentang orang ini. Ada yang “spesial” rasanya. Dan ini membuat saya penasaran. Suatu kenyataan yang terbuka untuk saya, pasti juga terbuka untuk orang lain (mengutip Mahatma Gandi, walau dalam konteks yang berbeda). Jadi, yang melihat betapa fenomenalnya Ahok berarti bukan hanya saya. Kemungkinan besar juga adalah warga sekitar Tanah Kusir, Kebayoran Lama Selatan, tempat saya ngekos. Soalnya, saban hari pembicaraan tentang sosok ini juga naik rating-nya di warteg dan warkop tempat saya biasa nongkrong dan mulai sok akrab dengan warga sekitar.

Bahkan, kemungkinan ini juga niscaya berdampak semakin luas. Rasanya juga sudah merambah sampai ke tingkatan yang lebih elitis yakni para pejabat dan pemangku kepentingan yang setiap hari memikirkan urusan yang kurang lebih sama dengan Ahok.

Pada tingkat ini, kritik dan komentar menjadi berimplikasi luas dan layak ditelusuri secara lebih mendalam. Sebab, bukankah ucapan dan kritik yang kita lontarkan adalah cermin dari permenungan dan kecemasan kita?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline