"Jangan cintai aku apa adanya, jangan!
Tuntut sesuatu biar kita jalan ke depan."
Satu kebiasan yang saya kembangkan beberapa tahun terakhir ini, yaitu merampungkan pembacaan sebuah buku sebelum mengakhiri tahun.
Bersyukur akhir tahun ini saya merampungkan membaca sebuah buka lama berjudul, "Allah Dan Rasio", yang ditulis oleh seorang pendeta bernama Timotty Keller, setebal 292 hlm. sejak dua minggu lalu sebelum 31/12/2023. Lama juga ya? Ah, tak apalah. Syukur masih bisa membaca buku!
Salah satu quotes menarik yang saya temukan dalam buku itu dan ingin saya sorot dan refleksikan lewat tulisan ini sebelum menutup tahun 2023 ini adalah: "Cinta yang membatasi adalah cinta yang paling membebaskan!" Anda berkenan membacanya? Mari kita lanjutkan!
Sesaat setelah membaca quotes tadi, dahi saya kernyitkan, mata dipicingkan, disusul suara membatin, "Masa sih, bukannya cinta itu seharusnya membebaskan, bukan membatasi?" Begitulah lazim kita, cepat menanggapi sesuatu sebelum tahu persis duduk perkaranya.
Lakon tanggap isi quotes semacam tadi tak jarang dipicu alasan-alasan sentimentil soal cinta, semacam, "Cinta itu indah, kok pakai dibatasi? Sebenarnya cinta nggak sih? Sayang nggak sih? Jangan-jangan cuma terpaksa. Bebaskan saja perasaan itu. Itu baru cinta!" begitu katanya.
Namun ada juga alasan lain yang berbau filosofis mendukung jenis tanggapan semacam tadi, yaitu penolakan pada otoritas dalam persoalan moral. Penolakan ini bahkan telah menjadi arus kuat dalam budaya kita hari ini.
Arus kuat apa? Arus kuat budaya yang menilai bahwa manusia dilihat sepenuhnya manusia, jika ia memiliki kebebasan untuk menentukan tolok ukur moral dirinya lepas dari kendali otoritas dan tradisi di luar dirinya. Termasuk pada persoalan moral berkenan urusan cinta. Artinya, pembatasan dalam urusan cinta bisa dianggap sebagai tindak membelenggu manusia menjadi manusia seutuhnya!