Nasionalisme* mungkin punya sedikit kandungan kafein. Terbukti malam kemarin, alih-alih menggeluti 'sudoku' yang cukup adiktif, neo-cortex saya pun berletup-letup ria perihal bacaan malam dari koran kadaluarsa di pojokan kamar. Sedikit menjemukan, tapi berceloteh rasa 'res publica' setidaknya menghargai media kertas yang secara kebetulan saya beli.
Setelah membolak-balik barang usang ini, saya pun larut dalam sebuah artikel lawas.
Kompas (23/11/2012), Prof. Moh Mahfud MD. dalam rubrik opini berujar, "demokrasi kita memang becek dengan korupsi, tetapi kita punya modal yang sangat besar yang, kalau dirajut, bisa mengantarkan kita jadi bangsa besar."
Apa modalnya?
Rasa sosial yang tinggi terhadap sesama warga, walau pun elite kita berperilaku buruk, ungkap Mahfud.
Bisakah kita membersihkan 'becek' ίtu dengan modal besar tersebut?
Dengan bijak Mahfud menutup tuturannya dengan sedikit sentilan optimisme yang terejawantahkan dalam dua saran: 1) Penataan sistem perekrutan politik agar tampil elite pilihan nurani rakyat, dan 2) Pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat, bukan berarti otoriter, tetapi tangguh dan efektif.
Pembacaan selesai. Namun, tidak butuh waktu lama, saya pun larut dalam ‘obok-obok imajiner’ picisan bertajuk nasionalisme —*bagi saya istilah ini mencakup ‘rasa prihatin atas kondisi bangsa’—.
Sekelebat teringat secuil rangkaian kata dari mantan perdana menteri Inggris, Winston Churchill, dalam sebuah pidatonya. "We shape our buildings, thereafter the buildings shape us,” katanya. Atau kira-kira terjemahannya, Kita 'membentuk' bangunan, setelah itu bangunan lah yang membentuk kita.
Sepotong kalimat tokoh international tersebut nampaknya masih punya ikatan darah dengan kesimpulan bapak Mahfud.
Layaknya bangunan, komunitas manusia merupakan manifestasi idealisasi masa sebelumnya. Manusia terdahulu membentuk komunitas dengan berbagai macam pranata yang keharusannya kemudian niscaya terinternalisasi dalam individu yang kemudian. Manusia membentuk masyarakat yang kemudian membentuk manusia baru. “We [necessarily] shape society, therefore society [necessarily] shapes our new generation.” Ya, teoritikus Antropogi sudah banyak yang mengungkapkannya.
Dengan menumpang berpijak pada ocehan itu, bolehlah tuturan bijak bapak Mahfud saya preteli dengan centil dalam beberapa poin:
1) Kesosialan kiranya sudah melembaga atau mengutip sebuah tajuk reklame, sudah jadi tradisi dari generasi ke generasi. Istilah gotong royong, misalnya, jadi saksi tuntutan nilai sosial manusia Indonesia.
2) Sementara di Indonesia, becek korupsi juga sudah sebegitu dalamnya terinternalisasi dalam sistem di berbagai bidang hidup. Mencicipi becek di kubangan sistem yang korup seringkali jadi ketidakharusan yang pada akhirnya terharuskan. Bahkan boleh dikata, korupsi termutakhir sudah jadi suatu bentuk kesosialan tersendiri. Lahir dan bertumbuh dalam lingkungan yang korup, kurang lebihnya menghasilkan kecenderungan yang korup.
3) Baik kesosialan negatif (dalam tafsiran saya) maupun kesosialan dalam arti yang sebenarnya merupakan sesuatu yang bukannya tanpa determinasi. Ίτu tetaplah pilihan. Anak kecil yang mengingini sesuatu pun tahu, melalui serangkaian peringatan simultan orang tuanya, mana cara yang 'baik' dan mana yang 'buruk' untuk bisa medapati inginnya.
Pada akhirnya, saya mereka-reka, tawaran bapak Mahfud menjadi suatu 'maxim'. Optimisme untuk menata sistem perekrutan politik dengan elit buah nurani rakyat demi terwujudnya pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat, tangguh dan efektif itu jadi keharusan.
Api optimisme itulah yang kiranya perlu dijaga cahayanya. Cahaya yang bisa menerangi kegelapan di pelupuk mata manusia Indonesia, sehingga terang benderang lah, mana yang becek dan mana yang tanpa noda.
Itu seruan moralnya. Itu yang seharusnya. Bukan begitu pak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H