Lihat ke Halaman Asli

Don Zakiyamani

Penikmat Kopi Senja

Film "Bumi Manusia", Film Literasi

Diperbarui: 6 Agustus 2019   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto: cnbcindonesia.com

Diangkat dari novel karya sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer, film Bumi Manusia bakal meramaikan jagat sinema Indonesia bahkan dunia. Film ini bakal laris manis, terbukti dari antusias masyarakat menyaksikan trailer-nya di YouTube.

Kesuksesan film ini nantinya tentu tak bisa lepas dari novelnya yang juga paling populer di antara karya Pram. Ia memang penulis yang mampu merekam realitas dan menguraikannya menjadi tulisan yang enak dibaca.

Tak salah bila Hanung Bramantyo mengangkat novelnya menjadi tontonan yang memikat. Selain itu, film tersebut dapat dijadikan tuntunan bagi generasi saat ini maupun yang akan datang. 

Film Bumi Manusia berkisah tentang anak pribumi yang mendapatkan tiket sekolah di HBS. Padahal sekolah itu dikhususkan untuk orang-orang Eropa, terutama Belanda. Kalaupun pribumi ingin bersekolah di HBS, harus keturunan ningrat atau anak pejabat.

Minke (Iqbal Ramadhan), pemeran utama film tersebut, tidak termasuk dalam kualifikasi. Akan tetapi, kelihaiannya dalam menyatukan kata demi kata menjadi kalimat, membuatnya dibolehkan bersekolah di HBS.

Minke penulis yang hebat. Tulisan-tulisannya bahkan mampu menembus koran-koran di Belanda. Selain hebat dalam menulis, ia juga seorang revolusioner.

Terbuktilah apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali: "Bila engkau bukan anak raja serta tidak kaya harta, maka menulislah." Minke mendapatkan tiket belajar di sekolah itu bukan karena keturunan ningrat maupun anak pejabat, tapi karena menulis.

Menulis memang kegiatan yang bermanfaat. Melalui tradisi menulis orang-orang terdahulu, kita mendapatkan banyak ilmu. Termasuk kitab suci semua agama, ditulis agar dapat dibaca dari generasi ke generasi.

Film Bumi Manusia tak akan pernah kita tonton apabila Pram tidak menulis novel setebal 305 terbitan Hasta Mitra itu. Pram mampu menarasikan persoalan sosial pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. 

Tradisi menulis orang-orang terdahulu harusnya kita lanjutkan. Soekarno dan Hatta bukanlah para pemikul senjata, bukan pula pemimpin di medan perang. Namun mereka lebih ditakuti penjajah pada saat itu karena tulisan-tulisan mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline