Hasrat hati ingin efisien apa daya malah sebaliknya, dalam kehidupan hal begitu kerap terjadi. Misalnya membeli gadget, umumnya kriteria murah menjadi poin utama meski kualitas asal-asalan. Benar bahwa yang mahal juga belum tentu berkualitas, sehingga hal utama yang harusnya menjadi perhatian adalah kualitas. Elit politik yang memutuskan pemilu serentak tampaknya lupa atau pura-pura lupa tentang pentingnya kualitas pemilu.
Meski efisiensi dijadikan alasan pemilu serentak namun menurut saya bukan itu alasan utama elit. Alasan utama pemilu serentak ialah agar pemilih lebih fokus pada pilpres ketimbang pileg, maklum saja kinerja anggota dewan selama ini rendah, selain itu masih banyak mantan koruptor kembali nyaleg. Dengan terpecahnya fokus pemilih, mantan koruptor yang kembali nyaleg diuntungkan.
Situasi itu juga diperparah dengan semakin gencarnya politik uang dalam pileg. Semua energi tercurah politik uang pilpres sementara pileg terlupakan. Situasi itu pula yang membuat caleg korup kembali terpilih dalam pileg 2019. Perlu kita segarkan kembali ingatan bahwa pemilu serentak merupakan kompromi pemerintah dan DPR 2014-2019. Mereka yang paling bertanggung jawab atas korban jiwa para petugas TPS. Dengan dalih efisiensi mereka memutuskan bahwa pemilu 2019 dilaksanakan serentak. Lalu benarkah pemilu kita lebih murah dari sebelumnya?
Secara nominal barangkali lebih murah karena petugas dilapangan hanya sekali dibayar dengan kewajiban mereka yang ganda. Bila sebelumnya petugas dibayar dua kali untuk pileg dan pilpres, kini mereka hanya sekali dibayar.
Pertanyaannya, pernahkah elit politik memikirkan keringat yang keluar dari petugas lebih banyak? Bila iya pasti mereka akan mengantisipasi kelelahan fisik serta honor yang sepadan dengan keringat petugas. Faktanya mereka (elit) seolah-olah terkejut lalu ramai-ramai menyuarakan agar pemilu selanjutnya jangan serentak setelah korban berjatuhan.
Saya menilai keputusan para elit terkait pemilu serentak tidak benar-benar melalui proses pengkajian. Bukan hanya korban jiwa, pemilu kali juga sangat rendah kualitasnya.
Masih ingat dengan debat kusir antara KPU dan Dukcapil soal DPT? Lihat pula bagaimana pengawasan pemilu kali ini juga sangat rendah. Pelanggaran begitu nampak didepan mata namun dengan personil yang minim serta fokus terpecah maka pengawas pemilu kewalahan.
Efisiensi yang digembar-gemborkan hanya bagi petugas lapangan (KPPS), sementara aspek lain yang harusnya bisa diefisiensikan malah tidak dilakukan. Lagi-lagi praktik 'kejahatan' kemanusiaan menimpa saudara-saudara kita pekerja di TPS. Alam kapitalisme lagi-lagi hanya menguntungkan segelintir dan menyengsarakan rakyat. Efisiensi hanya diberlakukan bagi petugas lapangan sementara para petinggi tidak.
Karenanya, pemilu serentak boleh saja tetap dilaksanakan dengan catatan petugas lapangan harus dimanusiakan. Misalnya mereka dibayar berdasarkan total pemilih bukan borongan seperti saat ini. Honor TPS dengan pemilih 50 dibayar sama dengan TPS pemilih 300 orang atau lebih. Penghitungan suara tidak dilakukan harus selesai hari itu juga. Mereka bisa menghitung dihari berikutnya sesuai kemampuan fisik dan personil. Regulasi ini harus dilakukan bila tetap ingin pertahankan pemilu serentak.
Kalau e-voting nantinya menjadi pilihan, keamanan cyber dan sumber daya manusia harus sejak sekarang disiapkan. Hal terpenting ialah apapun keputusan elit soal serentak atau tidak, riset harus dilakukan. Jangan asal memutuskan tanpa kajian dan diskusi. Jangan lagi korbankan rakyat demi 'kursi' kekuasaan.