Sebuah kegagalan masif yang tidak dapat di tututpi dengan drama oleh rezim yang tidak perlu disebutkan namanya ini adalah gagal mempersatukan dua kubu yang berbeda dukungan dan pilihan usai 2014 lalu.
Bila bicara hari ini, mungkin ada kewajaran saat kita yakin dengan apa yang kita hendak perjuangkan. Bagaiamana kebenaran yang kita yakini, coba kita syiar kan kepada siapa saja yang bisa kita jangkau karena tensi politik kita sudah mulai bergelora. Namun, kondisi idealnya, tidak boleh berlangsung dalam kebencian dan narasi pembohongan dalam agenda playing victim.
Selama empat tahun lebih jurang itu terus diperlebar dengan bangganya oleh mereka yang walau mulutnya berkata harga mati harga mati, tapi perpecahan seolah modal lain mereka menjual diri. Dua kubu yang semakin nyata membangun tembok seolah kita bukan saudara membuat kita sedih, entah kenapa Indonesia ku kini.
Gaya produksi narasi tepuk dada bahwa mereka paling ini paling itu adalah gaya lama yang dalam sejarah digambarkan sebagai kaum sebenarnya melakukan apa yang mereka selalu tuduhkan pada yang lain. Sibuk fitnah kelompok ini anti pancasila, sementara mereka sendiri tidak percaya tuhan. Sibuk bilang kaum itu ingin mengganti ideologi bangsa, sementara subur dalam agenda kumunisme yang jelas bertentangan dengan ideologi kita. Sibuk tunjuk orang intoleran, padahal setiap yang beda mereka bungkam bahkan habisi.
Jurang itu juga semakin lebar akibat satu ciri kita sebagai orang Indonesia, kita mudah tersulut, kita mudah marah, kita masih senang di ajak parade dengan iming-iming nasi bungkus. Sebagian dari kita yang melakukan itu juga tidak sepenuhnya salah. Mereka lapar, mereka tak terdidik. Walau aku masih yakin kalau mereka bukan lapar karena takdir mereka yang buruk, tapi karena mereka sengaja dibuat lapar. Aku sangat curiga, mereka tidak begitu saja secara alamiah dan organik tidak terdidik, tapi ada proyek pembodohan masal yang berlangsung tidak baru saja kini disambut baik.
Kenapa kesejukan dan persatuan semakin mahal? Semakin kebencian dijadikan alat untuk mempertahankan dukungan? Karena saat dusta sudah jadi biasa, kita akan sulit terima kebenaran bila tidak sesuai kehendak kita. Pilihlah pemimpin yang sudah tercatat sejarah dalam upaya persatuan dan kini terus menyatukan siapa saja yang punya niat baik untuk Indonesia tanpa melihat suku, agama, ras dan golongannya. Berhati-hati dengan yang selalu tepuk dada paling ini paling itu dan menjual murah persatuan dengan gimmick agar disoroti, lalu pergi shooting ftv saat rakyatnya menagih janji.
Dari dua sisi jurang yang semakin menganga kini, ada kelompok orang yang lirik kiri lirik kanan saja. Ada beberapa tipe. Tidak perduli sama sekali. Ada yang merasa paling benar walau sebenarnya takut bersikap, jadi cuma memilih untuk mengkritisi keduanya saja tanpa mau ikut ambil resiko salah. Ada juga yang tipe jaman now sekali baru mau tahu kalau itu sedang hits saja tapi sebenarnya ga peduli-peduli amat.
But, disisa tahun ini, menuju awal tahun yang akan menjadi waktu penentu arah Indonesia nanti, kelompok tengah yang masih belum paten pilihannya ini sudah seharusnya ikut sibuk. Terlalu cepat, udah mepet atau masih ada waktu buat santai sih sebenarnya pilihan dari tingkat urgensi masing-masing. Tapi selagi masih ada waktu, semakin lapang semakin rendah resiko salah pilihnya.
Ikut sibuk maksudnya tidak mesti ikut jadi partisan atau semacamnya. Sudah mulai menggali dan mencari tahu seberapa perlu kita memilih ada dibarisan yang mana. Memang disayangkan kelompok tertentu menarasikan bahwa apa apa jangang dibawa kepolitik. Nyatanya sekecil apapun bagian dalam kehidupan kita ini dipengaruhi oleh perpolitikan. Mau tidak mau kita harus terima saat harga beras, harga susu anak, harga pulsa hingga tingkat pelacuranoun dipengaruhi oleh dunia politik. Saat orang didaerah tertentu masih baru hype dengan facebook saat instagram aja udah mulai membosankan buat kita dikota, Itu dipengaruhi politik. Saat bilang jangan hilangkan kesucian agama dan tokoh agama dengan politik. Itu adalah ajaran jahat bin alira sesat. Mungkin karena terbiasa pakai cara kotor barulah secara tidak sengaja kelompok ini jadi tidak mau agama yang suci dilibatkan kepolitik, atau memang sengaja agar cara kotor mereka tidak disucikan agama. Walau akhirnya menjilat ludah saat tokoh agama kini ikut jadi pelakon mereka.
Satu-satunya untuk siapaapun kalian yang masih belum yakin akan memilih lanjut dengan yang sekarang atau menjadi bagian dari arah baru bagi kemajuan adalah dengan cari tahu lewat dua mata angin. Oh swing voters, you are lucky karena akan masih bisa secara fair menilai apa baik buruknya dari dua pilihan ini. Kami yang sudah memilih dan setia dari kedua pihak ini kadang terlena dengan yang kami dukung. Thank God, aku sebagai pendukung pak Prabowo diajarkan beliau untuk keep calm. Bagaimanapun hantaman fitnah dan kebencian, fokusnya adalah tujuan bernegara. Kalau yakin benar kita jadi santai. Tidak grasak grusuk selalu bikin tandingan. Formula pak Prabowo yang buat kami para pendukung beliau lebih memilih menjauhi gaya bar bar , gaya kolonial dan kawan-kawannya adalah, "kebenaran yang pasti akan menang"
So, ini waktunya untuk mementukan. Kebenaran harus kita ungkap, terkadang harus kita gali. Bisa saja yang aku katakan tidak sepenuhnya benar untuk orang lain. Again, kalian yang masih belum kiri atau kanan masih punya waktu menjajal mana yang buat kalian tenang karena tidak salah pilih, atau tidak salah pilih lagi. Bahwa yang pak Prabowo tawarkan adalah kemenangan rakyat bukan kemenangan pendukung beliau semata.