Lihat ke Halaman Asli

Memaknai Ketaatan Seorang Legioner (Alokusio)

Diperbarui: 17 Mei 2024   06:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bacaan Rohani: halaman 205 --> Kesetiaan dalam Legio

Alokusio: Memaknai Ketaatan Seorang Legioner

            Selamat pagi ibu-ibu yang terkasih dalam Kristus. Semoga kita semua dalam keadaan sehat dan diberkati Tuhan. Pagi ini saya ingin mengajak kita mengingat kembali anak-anak pada usia dimana mereka mulai lancar berjalan. Sejak usia itu, kita selalu berjaga dan memperhatikan pergerakan mereka. Kita takut kalau-kalau mereka mengambil atau berjalan ke tempat yang membahayakan mereka. Sebelum mereka memegang pisau atau berjalan ke jalan raya, kita menuntun mereka masuk rumah di tempat yang aman. Hampir dapat dipastikan bahwa mereka tidak senang dihalangi atau digendong begitu saja ke dalam rumah. Mereka akan berusaha melepaskan diri dari genggaman atau pelukan kita. Itulah naluri untuk merasakan kebebasan.

            Pada usia dewasa, keinginan untuk melepaskan diri dari baying-bayang kekangan selalu ada pada kita. Ketika berhadapan dengan aturan, muncul dorongan dalam diri kita untuk melanggarnya. Prinsipnya adalah sebisa mungkin kita sesuaikan aturan dengan kehendak sendiri. Itulah dorongan yang muncul demi kesenangan atau kemauan pribadi. Bahkan dalam menjalani panggilan kita sebagai romo, suster, frater, suami, istri, ada dorongan untuk bertindak seturut kenyamanan diri sendiri. Tidak mungkin menghapus dorongan tersebut karena sifatnya kodrati atau melekat dalam diri.

            Melalui bacaan rohani yang kita dengarkan pada hari ini, kita diajak untuk mengendalikan kehendak untuk bebas. Kita ditantang untuk menghidupi ketaatan. Ada berbagai kondisi hidup yang tidak menyenangkan, tidak sesuai harapan, membosankan. Tetapi, kita telah mengucapkan janji bahwa setia pada aturan tersebut. Pasangan telah berjanji untuk sehidup semati dengan pasangannya dalam untung dan malang. Kaum religius telah berjanji untuk setia pada Tuhan dalam situasi apapun. Dengan berjanji, kita menanggalkan dengan mulut berbagai kebebasan yang bertentangan dengan janji tersebut. Tetapi, tantangan terbesar bukanlah dengan ucapan melainkan pada praktik sehari-hari.

            Kita semua tahu bahwa kehidupan tidak selalu menyenangkan. Pada situasi yang tidak diharapkan, kesetiaan kita diuji. Godaan untuk menyimpang bisa datang kapan saja. Kalau ia datang, apakah kita bersikap permisif dengan mengatakan 'sesekali mah tidak apa-apa' atau 'namanya juga manusia, semua orang pasti punya salah, lagian tidak ada yang melihat'. Bisikan-bisikan semacam ini bisa muncul untuk membenarkan pelanggaran-pelanggaran kita.

            Pada saudari terkasih, dalam menghayati ketaatan, kita bagaikan anak kecil yang dilarang memegang api oleh atau benda tajam oleh orangtua. Kita tidak terlalu paham mengapa kita dilarang, mengapa harus sedemikian ketat menjaga kemurnian diri. Reaksi pertama ialah memberontak atau mengeluh karena aturan atau janji seakan merampas kebebasan kita. Akan tetapi, ketaatan merupakan ukuran kesetiaan kita pada seseorang atau sesuatu. Demikianlah yang disampaikan dalam bacaan rohani yang kita dengar pada hari ini. Bahkan, selain tidak melanggar aturan, kita juga didorong untuk selalu bertindak sebagai wujud kesetiaan. Kesetiaan kita disempurnakan dan menjadi mulia ketika dibarengi dengan perbuatan baik sebagai persembahan yang tulus demi kemuliaan Tuhan.

Ave Maria...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline