Lihat ke Halaman Asli

Revitalisasi Negara untuk Perlindungan Buruh Migran

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya masih tidak bisa melupakan luapan kegembiraan para pekerja migran di 8 negara penempatan setelah berdialog dengan Bapak Presiden hari Minggu, 30 November 2014. Bagaimana tidak? Mungkin ini baru pertama kali para pekerja migran berdialog dengan Presiden menuntut sesuatu dan langsung diputuskan saat itu juga bahwa KTKLN akan dihapuskan.

Perjuangan panjang para pekerja migran menemukan titik terang ketika di akhir dialog presiden menyatakan KTKLN dihapuskan. Wajar ketika seluruh pekerja migran negara penempatan menuntut penghapusan KTKLN karena sudah sangat banyak korban dari kartu ini. Buruh migran harus membayar ratusan ribu bahkan sampai jutaan untuk membuat KTKLN yang katanya justru gratis. Bahkan banyak pekerja migran yang batal berangkat karena dicekal di bandara, sehingga wajar para pekerja migran mengatakan kartu ini adalah kartu hantu mengingat KTKLN menjadi momok yang menakutkan bagi para pekerja migran.

Apakah perjuangan sudah berakhir? Tentu tidak. Persoalan mendasar tentang peran utama negara dalam memberikan perlindungan kepada warga negara masih belum tersentuh. Saya coba menginventrisasi persoalan-persoalan mendasar yang mengemuka pada dialog tersebut selain KTKLN.

Tuntutan yang paling mendasar dari semua persoalan yang muncul ke permukaan adalah revitalisasi peran negara dalam semua proses baik dari pra pemberangkatan sampai pasca keberangkatan dan bahkan pasca kepulangan ke Tanah Air. Selama ini negara tidak hadir sebagai pemangku kepentingan utama kepada buruh migran. Negara mengalihkan fungsinya kepada PJTKI yang jelas-jelas adalah lembaga profit, lembaga yang secara alamiah akan mengutamakan keuntungan tanpa mempedulikan kesejahteraan para pekerja migran.

Pada fase pra penempatan, proses rekrutmen harus melewati rantai yang sangat panjang dari para agen di desa-desa hingga sampai ke PJTKI yang pada pada akhirnya menyebabkan pembengkakan biaya yang selanjutnya akan dibebankan kepada pekerja migran. Negara tidak hadir dalam proses rekrutmen tersebut.

Proses pelatihan yang seharusnya adalah domain negara juga dialihkan kepada PJTKI sehingga Indonesia tidak mempunyai standar pekerja migran yang akan diberangkatkan. Wajah kelam persoalan pekerja migran diperparah dengan pemalsuan dokumen yang seringkali dilakukan oleh PJTKI baik berupa pemalsuan umur dan data kependudukan lainnya, misalnya tingkat pendidikan. Sehingga tidak heran jika dikatakan negara secara terstruktur menjadi pelaku perdagangan manusia melalui pengiriman buruh migran di bawah umur akibat praktek pemalsuan umur tersebut.

Pada fase penempatan, pekerja migran kemudian merasa terbebani dan bahkan tertipu dengan potongan hutang yang kemudian menjadi jerat yang mengikat. Misalnya untuk negara penempatan Singapura, pekerja migran harus menerima pemotongan gaji selama 8 ke 10 bulan akibat biaya penempatan yang sangat memberatkan. Kalau ditelisik lebih jauh, dalam surat keputusan Menakertrans RI No 588 tahun 2012, penempatan seorang tenaga kerja wilayah domestik ke Singapura mencapai Rp 27.739.000 di mana Rp 15.092.000 ditanggung oleh pengguna jasa dan Rp 12.647.000 ditanggung oleh pekerja migran. Sebesar itukah biaya yang dikeluarkan untuk mengirimkan satu pekerja migran Indonesia ke Singapura?

Ironisnya, menurut ketentuan yang berlaku di Singapura oleh kementerian tenaga kerja, agen Singapura hanya bisa membebankan potongan gaji maksimal 2 bulan gaji. Lantas mengapa sampai 8 ke 10 bulan? Di mana letak sinergi antara peraturan di negara penempatan dan negara asal? Jika pemerintah berdiri di sisi pekerja migran untuk melindungi, mengapa justru tidak menekan Singapura untuk meniadakan biaya administrasi dengan membebankan biaya tersebut kepada pengguna jasa? Sebut saja saya sebagai contoh pekerja yang bekerja di wilayah non domestik. Proses kedatangan saya ke Singapura semua ditanggung oleh perusahaan pengguna jasa. Dari mulai tiket keberangkatan, proses pengajuan dokumen ke pemerintah Singapura, asuransi dan sebagainya ditanggung oleh pengguna jasa. Lantas mengapa untuk pekerja di wilayah domestik harus memiliki pembedaan? Justru biaya-biaya tersebut harus dibebankan ke pengguna jasa karena kelompok pekerja domestiklah yang memiliki gaji paling kecil jika dibandingkan dengan kelompok pekerja lain di Singapura.

Pasca penempatan, negara juga berpura-pura lupa ingatan akan fungsinya mengawasi para pekerja migran di negara penempatan. Menurut ketentuan, para PJTKI harus melaporkan kondisi para pekerja migran ke pemerintah setiap 6 bulan. Tapi namanya lupa ingatan, peran kontrol ini hanya tertulis tapi tidak dijalankan. Jika mekanisme ini dijalankan, tidak akan ada cerita-cerita tragis seperti Wilfrida Soik yang akan dihukum mati di Malaysia ataupun Erwiana yang disiksa di Hongkong.

Pada dialog yang dilakukan presiden, Singapura mengungkapkan persoalan peran negara dalam memberdayakan para purna pekerja migran. Pemerintah diminta mulai memperhatikan mereka-mereka yang kembali ke Indonesia sehingga cerita-cerita soal purna pekerja migran yang terpaksa harus bermigrasi kembali tidak perlu terjadi lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline