Industri Hasil Tembakau (IHT) bukanlah industri baru di Indonesia. IHT telah lama tumbuh dan berkembang di Tanah Air sejak masa lampau. Bahkan dapat disebut IHT sebagai bagian dari sejarah Indonesia.
Pada tahun 1959, Pemerintah Indonesia pertama kali menjalin kerja sama perdagangan dengan pasar lelang tembakau di Bremen, Jerman Barat. Kerja sama tersebut mendorong perkembangan IHT semakin besar di Indonesia.
Kehadiran IHT di Indonesia bukan tanpa nilai kontribusi besar untuk perekonomian nasional. Patut dicatat: ada 2 sisi positif dengan munculnya IHT. Pertama, bagi besaran penerimaan negara. Kedua, memperkecil angka pengangguran.
Asal diketahui saja, IHT berhasil membukukan total Rp 218,62 triliun untuk penerimaan negara pada tahun 2022 melalui pajak cukai rokok. Bukan angka 'kaleng-kaleng' bagi dompet negara.
Penerimaan negara yang begitu besar dari IHT dapat digunakan bagi kemaslahatan hidup masyarakat Indonesia serta pembangunan nasional. Dengan besaran penerimaan negara tersebut, berarti IHT ikut menyumbang 10 persen dari total penerimaan negara pada tahun 2022.
IHT harus diakui merupakan salah satu andalan pemerintah dalam menunjang perekonomian.
Selanjutnya mengenai penyerapan tenaga kerja. Data Kementerian Perindustian tahun 2019 menyebutkan jumlah pekerja yang mampu diserap oleh IHT sebanyak 6 juta orang. Mulai dari tingkat hulu, yaitu petani perkebunan tembakau, sampai hilirnya, yaitu pekerja manufaktur/pengolahan dan distributor perniagaan.
Dengan data tersebut harus diakui bahwa IHT berhasil membuka lapangan kerja yang besar bagi masyarakat Indonesia. Angka 6 juta untuk memperkecil ruang pengangguran di Indonesia dapat dikategorikan sangat luar biasa.
Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa IHT merupakan sektor kerja padat karya. Ada 6 juta masyarakat Indonesia dari level hulu ke hilir yang 'terselamatkan' kehidupan ekonominya berkat kemunculan IHT. 6 juta masyarakat itu juga menaruh harapan besar bagi keberlangsungan IHT demi menjaga masa depan kehidupan ekonominya.
Dengan serapan tenaga kerja yang banyak, berdampak pula pada dimensi ekonomi negara. Negara terbantu sebab beban pengangguran yang harus ditanggulangi juga ikut terserap oleh IHT. Hal ini menunjukkan penyerapan tenaga kerja IHT bepengaruh positif pada ruang kehidupan masyarakat luas serta pertumbuhan perekonomian nasional dan daerah.
Patut dipahami di sini bahwa perkembangan IHT di Indonesia tidak hanya didominasi level pabrikan kelas menengah dan elit saja, namun juga dinikmati tumbuhnya industri skala kecil tradisional alias rumahan. Hal inilah yang menjadi keunikan IHT di Indonesia.
Misalnya, saat ini sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT) tetap dapat bertahan hingga masa modern saat ini. Di tengah maraknya mekanisasi, industri linting tangan ini tetap dapat berdiri. Pekerja SKT pun mayoritas mendayagunakan tenaga kerja wanita.
Bila Anda tinggal berdekatan dengan lokasi pabrik SKT, maka dapat disaksikan berjubelnya pekerja wanita dan mayoritas mereka bekerja sebagai pelinting rokok. Tenaga dan keahliannya tersebut ternyata terus dibutuhkan oleh IHT.