Lihat ke Halaman Asli

“Illegal Logging” di Merang-Kepayang Rugikan Negara 400-600 Milyar Rupiah/Tahun

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13028622231607488468

[caption id="attachment_102498" align="alignleft" width="300" caption="Foto: Dokumen WBH (Wahana Bumi Hijau) "][/caption] Demikian ungkap Aidil Fitri, mewakili Wahana Bumi Hijau (WBH), satu organisasi pemerhati lingkungan yang bermarkas di Palembang, pada acara “Lokakarya REDD+ (Reduce Emission from Deforestation and Degradation) Sumatera Selatan”, yang diadakan di kota yang dibelah Sungai Musi tersebut kemarin (14/4).

Dalam paparannya, lebih jauh Aidil menyampaikan bahwa angka tersebut didapat dari hasil pantauan kelompoknya terhadap kayu “haram”, yang dikeluarkan dari kawasan hutan Merang-Kepayang, yang rata-rata setiap tahunnya mencapai 400,000 meter kubik. Jadi, tinggal kalikan saja dengan harga kayu lokal yang harganya 1-1,5 juta rupiah/m3.

Kayu-kayu dari berbagai jenis pohon itu dicuri secara terang-terangan dari beberapa lokasi pada blok hutan gambut di wilayah timur Provinsi Sumatera Selatan, antara lain dari daerah hulu Sungai Merang dan Sungai Kepayang, Tembesu Daro, Sungai Buring, dan areal hutan konservasi milik PT. RHM (Rimba Hutani Mas), yang merupakan anak perusahaan dari kelompok Sinar Mas Group. Namun, menurut kajian Lulu Yuningsih, pengajar pada Jurusan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palembang, kayu-kayu tersebut paling banyak, lebih dari 50%-nya, diambil dari hutan di daerah Sungai Merang. “Kayu-kayu hasil curian dari kawasan Merang-Kepayang hampir seluruhnya ditransportasikan melalui Sungai Kepayang, Tembesu Daro, Merang, Buring dan Sungai Beruhun”, ujar Lulu, yang juga memaparkan hasil kajiannya pada acara yang sama.

“Kasus ini sudah sering kami laporkan. Tapi, begitu tim operasi gabungan datang ke lokasi, entah kenapa lokasi selalu kosong. Tidak ada seorang pun pelaku illegal logging yang sedang membalok”, kata Aidil geram. “Bulan Desember 2010 lalu, kami sengaja melalukan overflight (pemantauan dari udara) dengan gubernur”, Aidil menambahkan. Bapak Gubernur Sumatera Selatan rupanya kaget, melihat kenyataan bahwa di kawasan hutan Merang-Kepayang masih ada praktek penebangan liar. Karena, berdasarkan laporan-laporan yang ia terima selama ini, kawasan tersebut sudah bersih dari praktek pencurian kayu skala besar tersebut. Hasil investigasi Lulu mencatat bahwa, di areal hutan Sungai Kepayang saja, sedikitnya ada 400 orang yang bekerja “merampok kayu”.

Dalam presentasi Aidil, disebutkan bahwa ada 11 titik lokasi pembalakan kayu lair, pada blok hutan gambut yang luasnya sekitar 130,000 hektar, yang menjadi lokasi pemantauannya tersebut. “Mayoritas para pelaku penebang kayu liar adalah orang-orang pendatang yang tidak tinggal menetap”, papar Lulu, yang kajiannya ini difasilitasi oleh MRPP (Merang REDD Pilot Project). “Sementara masyarakat asli dan pendatang yang tinggal menetap di pinggiran hutan, mereka hanya mengambil kayu untuk kebutuhan hidupnya saja, tidak untuk komersial”, tambah Lulu.

Kita bisa bayangkan, dari 11 titik lokasi “illegal logging” pada kawasan hutan seluas 130,000 hektar ini saja, kerugian negara sudah mencapai 400-600 milyar rupiah. Padahal kita yakin bahwa di Sumatera Selatan saja, lokasi seperti ini bisa mencapai puluhan. Coba kita renungkan, berapa besarkah kerugian negara dari sektor ini, kalau kita kalkulasikan berdasarkan jumlah lokasi penebangan kayu liar di seluruh Sumatera?, di seluruh Indonesia?. Tak terbayangkan, tapi yang pastinya sangatlah besar!!!

Itulah, sekedar oleh-oleh yang saya bawa dari hasil mengikuti “Lokakarya REDD+ Sumatera Selatan” di Palembang, Kamis 14 April kemarin.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline