"Ibarat benih, kau harus dibenamkan ke dalam tanah untuk bisa tumbuh dan menjulang ke langit".
Pepatah ini saya dapatkan tidak lama berselang. Nasihat dari orang tua dan guru kepada anak atau murid mereka yang diuji dengan berbagai cobaan.
Pemimpin yang tangguh tak lahir begitu saja. Dia juga dibentuk selama hidupnya. Bukan dengan pujian yang dibuat-buat, namun dengan tantangan. Semakin berat dan besar tantangan yang dihadapinya, semakin tangguh dan kuatlah dia untuk mengayomi rakyatnya.
Satu dari sekian alasan ketika saya menentukan pilihan bahwa Prabowo adalah orang yang tepat untuk memimpin Indonesia pada periode pasca kepemimpinan Presiden SBY.
Sekitar 6 bulan yang lalu, saya menyatakan bahwa kandidat Presiden kita mungkin hanya dua orang saja. Paling banyak tiga. Mengamati perbincangan di ruang publik, media cetak, elektronik, dan juga media sosial.
Orang ini (Prabowo) awalnya membuat saya khawatir mengenai rekam jejaknya. Isu pelanggaran HAM. Tapi, memilih Jokowi adalah opsi yang jauh di urutan kesekian. Waktu itu, belum ada isu korupsinya di Solo dan Jakarta, belum ada hasil audit BPK, belum ada kisruh Transjakarta. Hanya berpatokan pada keberadaan mesin politik pemoles Jokowi dan pembully lawan politiknya yang saya kenali sebagai Jasmev.
Untuk menentukan pilihan, data harus banyak. Supaya saya bisa mempertanggungjawabkan pilihan tersebut. Maka mulailah saya mencari data mengenai pelanggaran HAM dan apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1998. Tahun itu saya masih duduk di bangku SMP. Mencoba memutar ulang memori ke masa-masa itu dan mengkomparasinya dengan data-data yang saling bertaut di hadapanku.
Semakin diulik, data-data itu makin menunjukkan ketidak-terlibatan Prabowo sebagai otak atau pelaku dalam tragedi Mei 1998. Alih-alih dia sebagai pemicu atau pelaku, malah dia jadi peredam efek negatif kerusuhan Mei 1998 itu. Semacam stabilisator konflik. Sebuah jebakan untuknya, entah oleh siapa. Informasi berhenti sampai disitu.
Fakta bahwa hanya Prabowo, Jenderal TNI, yang mendatangi keluarga korban kerusuhan dan bersumpah dalam naungan Qur'an membuat posisinya makin jelas. Buat saya, pada era 1998, seorang Jenderal yang berani melakukan klarifikasi secara langsung kepada rakyat, itu kejadian yang sangat langka.
Gonjang-ganjing politik di tahun 1998 itu menghempaskannya. Berpisah dengan anak, istri, dan kesatuannya. Setelah kejadian tersebut, dia ke Mekkah, Jerman, dan Jordan selama beberapa bulan untuk kemudian kembali ke Indonesia.
Tidak tumbang. Dia kembali dalam posisi yang lebih kuat dan strategis dibandingkan sebelumnya. Dia (Prabowo) contoh yang baik bagi saya, bersama deretan tokoh besar lain dalam sejarah manusia. Karena hidup kita penuh ujian. Cita-cita tinggi memang tak mudah diraih. Hanya mereka yang bertahan dan bangkit dari bulan-bulanan ujian, yang akan meraih cita-citanya.