Lihat ke Halaman Asli

Surat Terbuka untuk Bapak Presiden dari Dokter di Papua

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepada Yth

Bapak Presiden Republik Indonesia

di Jakarta

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Teriring salam sejahtera serta harapan dan doa semoga Bapak Presiden dan Ibu Negara – beserta keluarga senantiasa dalam keadaan sehat wal afiat sehingga lancar dalam menjalankan tugas sebagai abdi negara dan mengurus hak hidup seluruh rakyat Indonesia.

Pada kesempatan ini, melalui sebuah surat terbuka, kami berkeinginan agar Bapak menggunakan kekuasaan yang dititipkan untuk memperbaiki sebuah problem dalam dunia kesehatan. Poblem tersebut adalah semakin tingginya biaya pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lain dan semakin banyaknya biaya yang diperlukan untuk meng-upgrade kapasitas dan kompetensi tenaga kesehatan kita.

Pak Presiden, untuk menjadi dokter, dokter gigi, suster, apoteker, dan lain-lain tenaga kesehatan, yang kerjanya secara nyata langsung dirasakan masyarakat kita, semakin hari biaya kuliahnya semakin tinggi. Sebagaimana barang-barang mahal yang kita punya, perawatannya pun tidaklah murah. Begitu pula dengan kondisi yang dialami tenaga kesehatan di negeri kita.

Banyak pihak yang terjebak dalam sistem pendidikan yang berbiaya tinggi, padahal profesi dokter itu sendiri, adalah profesi yang harus mendapatkan up-grading secara berkala. Upgrading diperlukan untuk membantu kami melayani masyarakat dan mencari solusi atas berbagai tantangan sektor kesehatan yang kami hadapi bersama rakyat dari hari ke hari. Seorang dokter wajib belajarnya bukan hanya 6, 9, atau 12 tahun. Proses belajar seorang dokter berlangsung hampir tiap hari, sepanjang pengabdian kami sendiri. Pertanyaannya, darimana uangnya?

Dampak lanjutan dari sistem pendidikan berbiaya tinggi ini ada dua garis besar. Pertama, tenaga kesehatan yang terpaksa menerima kondisi dan tidak rutin mendapatkan up-grading keilmuan dan kompetensi (penyebabnya multifaktor, termasuk kurangnya kemampuan finansial) bisa berujung kepada meningkatnya angka kejadian malpraktik. Kedua, tenaga kesehatan yang juga terpaksa menerima gratifikasi dari pihak ketiga (selain negara, biasanya pihak swasta) demi mengikuti proses pendidikan lebih lanjut di berbagai pusat pendidikan.

Belakangan profesi kami mendapat kritik. Ada dua tipe kritik dari publik terhadap profesi kami. Pertama, malpraktik. Kedua, gratifikasi. Tahun 2013, dokter se-Indonesia harus berjibaku untuk menghadapi isu malpraktik. Tahun 2014, isu gratifikasi mulai diangkat. Memang ada oknum-oknum tertentu, pada waktu-waktu tertentu, yang perilakunya tak bisa merepresentasikan moral profesi kedokteran yang tinggi. Itu harus diakui, namun sekali lagi tidak karena satu-dua oknum lantas pihak-pihak yang tidak suka dan atau ingin mengambil keuntungan bisa seenaknya menuding bahwa seperti itulah mayoritas dokter di negeri kita.

Menyadari risiko yang mungkin profesi kami hadapi di masa datang, saya beranikan untuk mengirimkan surat ini kepada Bapak Presiden. Kami perlu bantuan, atau lebih tepatnya proteksi, agar bisa melayani rakyat dengan tenang tanpa dipusingkan oleh kedua isu yang saya telah sebutkan sebelumnya.

Akar masalahnya sama, hulunya, adalah sistem pendidikan kesehatan yang berbiaya tinggi.

Beberapa pekan yang lalu, saya mengirimkan pertanyaan kepada senior kami di Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai batasan gratifikasi yang dibolehkan. Dari jawaban yang saya dapatkan dari kedua institusi, terutama poin yang diberikan KPK, muncul inspirasi yang boleh jadi bisa menjadi solusi. Solusi ini merupakan wewenang Bapak Presiden, dan kami hanya sebatas memberikan saran.

Dalam surat balasan dari KPK mengenai batasan gratifikasi yang dibolehkan ada poin pernyataan sebagai berikut, “untuk memutus adanya potensi konflik kepentingan maka undangan atau permintaan sebagai narasumber atau peserta dapat disampaikan melalui institusi…”. Berdasarkan poin tersebut maka inilah usulan saya untuk mengurangi risiko malpraktik sekaligus gratifikasi dalam dunia kesehatan kita di tahun 2015 dan seterusnya.

Pertama, besaran biaya pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan harus dikendalikan. Tidak boleh mahal dan harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk daerah pelosok seperti kami di Papua dan Papua Barat. Dengan memberikan subsidi ke sektor pendidikan dokter dan tenaga kesehatan lainnya, negara kita akan semakin dekat dengan visi Indonesia Sehat di masa pemerintahan Bapak. Sehat dari Sabang sampai Merauke.

Kedua, bagi profesi dokter yang sudah selesai pendidikan dan sedang melaksanakan tugasnya kepada negara maka segala bentuk pendidikan berkelanjutan baik di dalam negeri maupun di luar negeri (seminar, simposium, kursus, pelatihan, dsb.) harus disponsori oleh negara. Hindarkan peran swasta. Kuncinya ada pada peran pro-aktif negara untuk membantu kelancaran tugas-tugas pegawainya.

Bapak Presiden yang saya hormati, besar harapan kami agar Bapak bisa segera membantu dokter-dokter di seluruh Indonesia memiliki kompetensi yang lebih baik lagi. Peran negara harus semakin besar untuk hal tersebut. Dengan meningkatkan anggaran untuk pendidikan dan pelayanan kesehatan, maka kita bisa menekan risiko malpraktik sekaligus gratifikasi yang potensial mengganggu pelayanan kami kepada rakyat seluruh negeri.

Kami ingin memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Demi satu negeri yang rakyatnya semakin sehat.

Waisai – Raja Ampat, 1 Januari 2015

(dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD)

====================================================================================

Usulan ini didukung oleh :

dr. Agil Murthala, dr. Hidayatullah, A. Nurrahma Ramli, Hafid Rezando, Firdath Rubenzani, Esqha Arini, dr. Rita Khairani SpP, Yoga Mirza, dr. Alamsyah Irwan SpAn, dr. Djunaedi Djamir, dr. Rais Akbar, dr. Restu Handayani, dr. Ovan Weka, dr. Ahmad Suhudi, dr. Emmi, dr. Triana Pratiwi, dr. Dava Soamole, Rahma Yanti, dr. Ilham Arif, dr. Abdul Syarif, dr. Eni Andriani, dr. Sri Rahmawati, dr. Lusy Alwi, dr. Muhammad Alhidayah, dr. Ade Sinuhaji, dr. Hung Ketty, dr. Restuti Saragih, dr. Ivan Albar, dr. Hery Siregar, Rezki Hardiyanti, dr. Nuril Wijaya SpA(K),...

(dan terus bertambah...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline